software hati

kisah kisah melunakan hati

Sabtu, 05 Februari 2011

VIRUS-VIRUS UKHUWAH 3 Abu 'Ashim Hisyam bin Abdul Qadir Uqda

SERING MENEGUR, TIDAK TOLERAN, CENDERUNG NEGATIVE THINKING, ENGGAN MEMAAFKAN

Fudhail berkata: "Kemurahan hati adalah mahu memaaf-kan kesalahan-kesalahan teman." (As-Sulami, Adabush-Shuhbah, hlm. 46, dan Tahdzibu Madarijis-Salikin, hlm. 435) Ketika mendengar firman Allah:

�Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik� (al-Hijr [15]: 85).

Ali bin Abi Thalib menafsirkannya dengan: sikap rela tanpa menyalahkan.(As-Suyuthi, ad-Durrul-Mantsur IV/104, dan asy-Syaukani, Fathul-Qadir III/ 141)

Sungguh indah ucapan seorang penyair:

jika engkau selalu mengeluhkan semua perkara

tak kan kaudapat seorang sahabat tanpa keluhan

nikmatilah hidup sendiri

atau beryaullah dengan sahabatmu

ia sesekali sungguh terjebak kesalahan atau terhindar

jika engkau tetap enggan minum kerana setitik noda

nescaya kehausan

dan siapa gang betul-betul jernih air minumnya

siapa gang baik semua perangainga cukup seseorang dianggap mulia

jika celanya masih terhingga (Raudhatul-'Uqala', hlm. 182, danAdabud-Dunya wad-Din, hlm. 179)

Terkadang seseorang harus menegur sahabatnya dengan lembut dan halus, namun ia harus berhati-hati agar tidak terjebak untuk menegur dalam semua peristiwa, baik kecil mahupun besar. Hanya saja ia harus lebih sering memaafkan dan menutup mata terhadap beberapa kesalahan kecil, serta pura-pura tidak mengetahuinya. Seperti yang dinyatakan oleh ath-Tha'i dalam puisinya:

orang bodoh tidak mungkin menjadi pemimpin bagi kaumnya pemimpin kamu adalah orang yang pandai berpura-pura bodoh (Uyunul-Akhbar I/327, dan Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 181. )

Sikap sering menegur dan menekan sahabat dapat mengakibatkan terpuruknya tali ukhuwah, kerana sahabatmu beranggapan bahawa anda tidak dapat menerima kekurangannya sekecil apa pun, atau menganggapmu selalu diliputi prasangka buruk terhadapnya, atau ia beranggapan bahawa anda menilainya tidak boleh memenuhi hak-hakmu. Jika anda terus menggunakan cara bergaul seperti ini, tentu anda tidak akan mendapatkan seorang sahabat yang bebas dari kekurangan. Ertinya, anda tidak akan pernah boleh menjalin ukhuwah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair:

aku selalu menutup pandangan dari kesalahan sahabat
kerana takut menjalani hidup tanpa sahabat

Penyair lain berkata:

orang yang enggan menutup pandangandari kekurangan sahabatsampai akhir hayat, ia tak kan dapat sahabat tanpa cacat

orang yang selalu menghitimg-hitung kesalahan
sepanjang hayat tak ada sahabat tanpa cacat

Penyair yang lain pula menyatakan:

terimalah sahabatmu dengan segala kekurangannya

sebagaimana kebaikan mesti diterima walau kecil wujudnya
terimalah sahabatmu
kerana jika sekali ia menyakiti
lain kali ia membahagiakan

Kerana itu, untuk mengatasi hal ini, anda harus mempunyai kriteria yang ideal ketika memilih sahabat, dengan meyakini bahawa tidak ada sahabat yang bebas dari kekurangan, sebagaimana anda-pun tidak lepas dari kekurangan. Maka terimalah kekurangannya sebagaimana ia menerima kekuranganmu. Jika tidak, selamanya anda bakal dirundung duka kerana tidak mendapat sahabat yang diharapkan.

Fudhail bin 'Iyadh berucap: "Siapa mencari sahabat tanpa cacat, nescaya sepanjang hidupnya tidak mendapat sahabat." (Raudhatul-'Uqala', hlm. 169. 75 )

Seorang penyair menuturkan hal ini dalam untaian indah bait puisinya:

pergaulilah sahabatmu dengan segala kekurangan
yang dimilikinga
jagalah agar tetap mencintainga sekalipun jauh berpisah

orang gang paling lama menderita adalah
pendamba sahabat sejati tanpa kekurangan

Tidak ada orang yang hidup tanpa cela, seorang penyair mengungkapkan:

jangan kurangi cintamu kepada sahabat

hanga kerana melihatnga melakukan sekali kesalahantiada sahabat tanpa cacatsebesar apa pun upayamu untuk mencarinyaKita terkadang tidak suka melihat perangai seseorang. Tetapi ketika ia pergi, dan kita telah bergaul dengan orang lain, ternyata orang itu lebih buruk perangainya. Maka saat itulah mata kita baru terbuka, dan melihat sisi-sisi baik sahabat pertama yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya.

Seorang penyair mengungkapkan hal ini dalam puisinya:

pernah kusakiti hati sahabatku, Salam, dengan teguran namun setelah berpisah dan mencuba bersahabat dengan banyak orangakhimya harus kutangisi kepergian seorang Salam ('Uyunul-Akhbar II/6, dan Bahjatul-Majalis 11/659. Puisi dan saran-saran orang bijak di atas dinukil dari Fannut-Ta'amulma'an-Nas, hlm. 27. )

Kerana itu, Anda harus yakin bahawa siapa pun tidak akan lepas dari kekurangan, manusia tetap sebagai manusia yang tidak pernah lepas dari kudratnya.

mereka tetap manusiasama dengan dunia, harus ada cela terlihat oleh mata atau nampak ibarat noda dalam air jernih

kiranya tidak adiljika harus mendapat sahabatyang baiksementara dirimu tidak baik perangaidan tatakrama. (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 175. Puisi tersebut diungkapkan oleh Ibnu Rumi.)

Seorang penyair berkata:

jangan patah hati kerana seorang sahabat menyakitimu banyak orang yang menyalahi tapi tetap murah hatipenuh derma

jika sahabatmu menyalahi, tetaplah pertahankanhingga akrab kembalisementara engkau menjadi lebih pemurahlagi terbuka. (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 175. Puisi tersebut digubah oleh al-Azdi)

Orang bijak mengatakan: "Adakah orang alim yang tak pernah salah, adakah pedang yang tak tumpul, adakah orang baik yang tak pernah berubah." (Ibid, hlm. 179)

Sebuah pepatah mengatakan: "Orang yang mencari sahabat dengan syarat tidak melihat kesalahannya dan tetap mencintainya, ibarat seorang musafir yang sesat; semakin jauh melangkah, semakin jauh pula dari negeri tujuan." (Ibid) Seorang bijak berkata: "Jangan menyia-nyiakan orang yang kamu ketahui baik kelakuannya, terpuji akhlaknya, banyak keistimewaannya, dan unggul pikirannya, hanya kerana satu kekurangan di antara sekian banyak kelebihannya, atau satu dosa kecil yang boleh diampuni kerana berbagai kebaikan yang pernah dilakukannya. Sesungguhnya sepanjang hidupmu tidak akan pernah menemukan manusia sempurna tanpa cacat atau tak pernah melakukan dosa. Lihatlah dirimu sendiri, ketika kamu gagal menemukannya, jangan menilainya secara subjektif menurut kehendakmu. Sifat-sifat yang kamu tetapkan untuk memilih seorang sahabat tidak akan pernah terwujud dan hanya akan memaksamu berpaling kepada orang yang pernah berdosa." (Ibid, hlm. 174. )

Dalam hal ini, al-Kindi mengungkapkan kalimatyang sarat dengan makna: "Jiwa manusia yang merupakan bagian paling privasi yang dimiliki dan dikendalikan sesuai keyakinannya, tidak pernah mampu dikuasai secara penuh agar melakukan seluruh hasratnya, serta tidak selalu menuruti semua keinginannya. Jika demikian, bagaimana dengan jiwa orang lain? Cukuplah bagimu jika dapat menyukai sebagian besar sifatnya." (Ibid)

Menurut al-Mawardi: "Di antara hak ukhuwah adalah memaafkan kesalahan sahabat dan menutup kesalahan yang dilakukan olehnya. Kerana siapa yang mengharapkan seorang sahabat yang tak pernah berbuat kesalahan, atau tak pernah terpeleset dalam kemungkaran, bererti ia mencari sesuatu yang mustahil dan membuat kriteria yang tidak akan pernah terpenuhi." (Ibid, hlm. 179)

Abdullah Ibnul-Mubarak berkata: "Jika kebaikan seseorang lebih banyak daripada keburukannya, maka kebaikan-nya tersebut tidak diperhitungkan. Namun jika keburukannya lebih banyak dari kebaikan, maka kebaikannya tidak diperhitungkan." (Siyaru A'lamin-Nubala' VII/398. )

Maksudnya, jika kebaikan seseorang lebih banyak dari keburukannya, maka keburukannya tersebut impas kerana kelebihan kebaikan yang dimilikinya. Untuk itu, jika Anda mendapatkan seorang sahabat yang kebaikannya lebih besar dari keburukannya, maka orang seperti itulah yang sebenarnya Anda cari.

Kaidah ini didukung dan diperkuat oleh sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Seorang suami yang Mukmin tidak akan memarahi isterinya yang Mukminah, apabila ia tidak suka terhadap sebagian perangai istrinya, maka ia akan menyukai perangainya yang lain." (Diriwayatkan oleh Muslim dalam ar-Radha' no. 1469, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad 11/329. 77 )Sekalipun hadith tersebut berbicara mengenai hubungan antara suami dan isteri, namun substansi pesannya dapat diterapkan dalam semua bentuk hubungan. Yang dimaksud dengan pesan di sini adalah tidak boleh terfokus kepada sisi negatif dan melupakan sisi positif. Tidak ada orang yang bebas dari kekurangan. Tak ada isteri yang sempurna tanpa kekurangan. Demikian pula dengan sahabat, pemimpin, anggota, dan seterusnya.

Sa'id bin al-Musayyab berkata: "Tiada orang yang mulia, alim, atau hebat yang terbebas dari kekurangan. Namun yang penting adalah, sebagian kalangan manusia tidak baik jika dibeberkan kekurangannya." (Al-Bidayah wan-Nihayah IX/106. Keterangan di atas boleh dilihat dalam: Fanmit-Ta'amut ma'an-Nas, hlm. 26 dan 27, dengan sedikit perubahan redaksional. )

Kesimpulan yang harus diambil adalah, kita tidak boleh lekas terpengaruh oleh kesalahan atau aib yang terlihat dari seorang sahabat, lalu menutup mata dari berbagai sisi positif yang dimilikinya. Jika hal itu kita lakukan, bererti kita telah kehilangan pertimbangan yang adil dan objektif.

Ada orang yang mempunyai kebiasaan buruk, ia suka memuji seseorang secara berlebihan, seakan-akan mengangkatnya setinggi langit dalam seketika, namun kemudian menjatuhkannya ke dasar jurang dalam seketika pula. Barangkali di antara kita ada yang pernah menemukan seseorang dengan kesan yang sangat jelek dalam pandangan sahabat-sahabatnya, namun pada kesempatan lain, ia digambarkan dalam kesan yang sangat baik. Padahal tidak ada perubahan yang bererti pada diri orang tersebut. Kisah seperti ini boleh terjadi kerana pada kesempatan pertama, yang disebut-sebut adalah sisi negatifnya saja, namun pada kesempatan berikutnya yang disebut adalah sisi positifnya.

Jika seseorang mampu mengendalikan emosi dan berusaha keras agar tetap terfokus dengan sisi-sisi positif pada diri sahabatnya, selalu yakin bahawa kebaikannya jauh lebih banyak dari kekurangannya, nescaya tidak akan menzhalimi sahabat atau membuatnya marah. Jika suatu waktu ia dibayangi oleh kesan negatif kerana kesalahan yang pernah dilakukan olehnya, maka ia mencuba merenungkan emosinya dan mengatakan pada dirinya:

jika ia pernah menyakitiku

dengan perlakuan buruk satu kali

maka ia pernah berbuat baik kepadaku berkali-kali

Pada kenyataannya, terkadang kita merasa sangat kesal terhadap sahabat, kemudian tumbuh menjadi benci. Semua itu kerana suatu hal negatif yang dilakukan sahabat, bahkan terkadang hanya kerana satu perbuatan dalam kisah tertentu, tapi kita menilai kepribadiannya secara utuh dari kisah tersebut. Hubungan ukhuwah atau pergaulan yang baik menuntut agar anda senantiasa mengedepankan sisi-sisi positif yang ada pada peribadi sahabatmu, mahu memaafkan jika melakukan kesalahan, atau melihat suatu kekurangan. Sepertiyang diungkapkan oleh seorang penyair: jika sang kekasih melakukan satu kesalahan

segala kebaikannya membuka lebar pintu maaf

Jangan bersikap seperti seorang wanita yang ketika melihat sesuatu yang tidak disukai dari suaminya, ia berkata: "Aku tidak pernah menerima kebaikan apa pun darimu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut sikap dan ungkapan tersebut sebagai 'kufur', dan dengan alasan ini pula, wanita menjadi golongan majoriti yang masuk neraka. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai alasan mengapa para wanita menjadi majoriti penghuni neraka, beliau menjawab:

"Kerana mereka (wanita) sering mengutuk dan kufur",

lalu ada yang bertanya: "Kufur kepada Allah?" Beliau menjawab: "Tidak, melainkan kufur terhadap suaminya."

Dan perawi menafsirkannya sesuai dengan pendapat kami. (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Haidh no. 304, az-Zakah no. 1462, ash-Shaum�secara singkat�no. 1951, dan asy-Syahadat� secara singkat�no. 2658, juga Muslim dalam al-lman no. 80, dari riwayat Abu Sa'id al-Khudri. Bukhari juga meriwayatkan hadith yang memiliki makna yang sama dalam al-Iman no. 29, juga Muslim dalam al-Kusuf'no. 907, an-Nasa'i dalam al-Kusuf III/146-148, dan Malik dalam kitab al-Muwaththa' bab al-Kusuf I/186-187, semuanya dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, juga ada beberapa riwayat selain dari Abu Sa'id dan Ibnu Abbas. )

Cinta yang besar dan prasangka baik terkadang betul-betul menutup pandangan seseorang terhadap kekurangan sahabat, seakan-akan kekurangan tersebut tidak pernah ada, seperti yang dinyatakan oleh seorang penyair:

aku tidak pernah melihat kekurangan sang kekasih tidak pula sebagian perangainya selama aku menyukainya pandangan suka akan menutup semua kekurangan sementara pandangan benci akan memperbesar setiap kesalahan (Uyunul-Akhbar 111/16, bait puisi tersebut dinisbatkan kepada Abdullah bin Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far. )

Oleh kerananya, anda harus tahu bahawa di antara ciri-ciri ukhuwah yang tulus adalah suka memaafkan dan lapang dada terhadap kekurangan. Hasan bin Wahb berkata: "Di antara hak-hak ukhuwah adalah memaafkan kesalahan sahabat dan terbuka atas segala kekurangannya."(Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 175, yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah sikap al-mudarah. Perbedaan antara al-mudarah dan al-mudahanah terletak pada motivasi sikap terbuka (atas kesalahan). Jika Anda bersikap terbuka dengan tujuan menyelamatkan agama dan memperbaiki saudaramu maka sikap itu disebut dengan al-mudarah. Namun jika tujuan sikap terbuka adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi, mengumbar nafsu, dan menyelamatkan posisi Anda, maka sikap itu disebut dengan al-mudahanah. Jika kesalahan saudaramu berkaitan dengan masalah agama, maka nasihatilah dengan penuh kelembutan sejauh yang anda mampu, tanpa harus meninggalkan kritikan atau wejangan. Lihat: Mukhtashar Minhajil-Qashidin, hlm. 99.Menurut Ibnu al-Baththal, al-mudarah adalah sifat orang Mukmin, bentuknya adalah sikap lembut, tutur kata yang halus, dan 79 menghindari kata-kata kasar, semua itu adalah faktor tumbuhnya cinta. Ada yang berpendapat bahawa al-mudarah sama dengan al-mudahanah. Pendapat tersebut tidak benar, kerana al-mudarah dianjurkan oleh agama, sementara al-mudahanah hukumnya adalah haram. Perbedaannya adalah, al-mudahanah berasal dari kata ad-dihan, yaitu yang nampak pada suatu objek dan menutupi hakikatnya. Para ulama menyatakannya sebagai upaya mempergauli orang fasik dan menunjukkan persetujuan terhadap perbuatannya. Pada sisi lain, ia enggan memberi peringatan atas perbuatannya, dan enggan mengingkari dengan kata-kata atau tindakan yang lembut, terutama jika orang fasik tersebut perlu didekati atau kerana alasan lainnya. Lihat Fathul-Bari 1/545.) Seorang penyair berkata:

aku suka seorang sahabat yang serasi

dan menutup mata dari segala kesalahan kecilku (Diwan asy-Syafi'i, hlm. 59. Menurut al-Mawardi: "Aku mendengarnya dari ar-Rabi', dan puisi itu milik asy-Syafi'i." )

Al-Ashma'i menceritakan bahawa sebuah pepatah orang Arab Badui menyatakan: "Lupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sahabatmu, nescaya kekal cintanya kepadamu." (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 180.)

Suatu kesalahan yang dilakukan oleh sahabat tidak boleh menjadi alasan untuk menjauhi atau putus darinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

�Penyambung persaudaraan bukanlah orang yang diputus hubungannga, lalu dia menyambungnya kembali.� (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adab no. 5991, Abu Dawud dalam az-Zakah no. 1697, Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 1908, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad 11/163, 190, dan 193, di dalam beberapa riwayatnya ada tambahan pada awal hadith, yaitu: "Sesungguhnya ikalan kekeluargaan (ar-rahm) terikat di al-'Arsy." 80 )

Seorang penyair berkata:

pertahankanlah hubunganmu

dengan orang-orang yang baik hati itu

sekalipun mereka menuduhmu memutuskan persahabatan

membuka pintu maaf dan lapang dada

atas kesalahan mereka

adalah pilihan sikap yang tepat

Penyair lain berkata:

tunjukanlah kepadaku orang

yang jika aku marah atau suka

selalu membalas dengan hati terbuka dan penuh sabar

Lupakan kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh sahabatmu, demi mempertahankan kehangatan ukhuwah. Itulah sikap seorang dewasa dan matang. Pepatah bijak mengatakan: "Aku berkesimpulan bahawa kebanyakan masalah di dunia ini tidak boleh diselesaikan kecuali dengan cara melupakannya." (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 181.)

Berkata Aktsam bin Shaifi: "Barangsiapa yang bersikap keras nescaya dijauhi, siapa yang bersikap tenang nescaya dide-kati. Kemuliaan seseorang terdapat pada kesiapannya untuk melupakan." (Uyunul-Akhbar III/9, dan Adabud-Dunya wad-Din hlm. 181.)

162Syabib bin Syaibah berkata: Tokoh yang cerdik adalah yang pandai membuat perhitungan dan penuh pengertian."

At-Tha'i berkata:

pemimpin suatu kaum itu bukan orang bodoh pemimpin kaum adalah orang yang mudah melupakan kesalahan (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 181)

Banyak orang yang sanggup memberi pengertian kepada musuh, maka seharusnya mereka lebih mampu melakukannya kepada sahabat.

Dalam untaian bait puisinya, Imam Syafi'i berkala:

ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan iri di hati

jiwaku tenteram bebas dari tekanan rasa permusuhan

kuucapkan salam di saat berjumpa lawan

agar menahan bibit permusuhan

dengan ucapan salam kutampakkan wajah berseri kepada orang yang kubenci

seakan berbunga hatiku penuh kecintaan

manusia adalah penyakit

penawarnya dengan cara mendekati

jika menjauhi bererti mengabaikan cinta sejati (Uyunul-Akhbar I/327)

Qadhi at-Tannukhi berkata:

temuilah musuhmu dengan muka ceria

seakan-akan begitu segar indah berseri

orang yang paling tenang akan menemui musuhnya

dengan memendam dengki namun berbaju cinta

penuh erti

kelembutan adalah anugerah

ucapan yang terbaik adalah kejujuran

kebiasaan gurau berlebihan akan membuka pintu

permusuhan165 Seorang penyair berkata:

jika tidak sanggup melawan musuhmu maka cuba dekati

mulailah dengan gurau

kerana gurau membuka kedekatan hati (Diwan asy-Syafi'i, hlm. 56. Al-Mawardi berkata: "Aku mendengarnya dari ar-Rabi', dan puisi tersebut milik asy-Syafi'i.�)

dekatilah

kerana api akan padam oleh air yang meredamnya

api membuat matang

namun wataknya selalu membakar (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 183.166 Makna bait ini tidak bertentangan dengan bait sebelumnya. Yang dilarang adalah gurau yang berlebihan, adapun gurau yangwajar dapat membuat keadaan lebih baik.)

Itulah ucapan dan sikap orang-orang bijak ketika menghadapi lawan. Jika itu merupakan sikap mereka, maka bagaimana dengan sikap yang seharusnya ditunjukkan kepada sahabat yang ketika melakukan kesalahan, ia tidak pernah bermaksud memusuhi atau menyakiti.

Oleh kerananya, tidak baik jika tetap bertahan untuk saling menjauhi atau memutuskan hubungan ukhuwah hanya kerana kesalahan kecil yang sulit dihindari selama masa persahabatan.

hubungan kita tetap tak bergeming sepanjang waktu

namun keretakan yang kini terjadi

hanya ibarat tetes hujan musim semi

dikau takut

ketika melihatnya begitu deras membasahi bumi

betapapun derasnya hujan musim semi

ia tetap akan segera berhenti (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 181.)

Mudah memaafkan dengan tulus, seharusnya menjadi identitas ukhuwah antara orang-orang yang bersahabat dan saling mencintai. Pada umumnya, manusia tidak menyukai orang yang tidak mahu melupakan kesalahannya, selalu mengingatkan kesalahannya atau menyalahkan orang yang memaafkannya. Semua orang tidak suka semua sifat seperti itu, yaitu sifat orang-orang yang selalu mengingatkan atas kesalahan masa lalu dan menyebutnya terus-menerus. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia " (Ali Imran [3]: 134).

Ertinya, Allah memuji orang-orang yang mahu memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain.

Kata maaf harus diberikan terutama jika sahabat menemuimu untuk minta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Kerana: �Semua keturunan Adam pasti banyak melakukan salah, dan sebaik-baik orang yang banyak melakukan salah adalah yang mahu bertaubat.� (Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 175. )

Jangan menyakiti hati sahabat yang datang untuk minla maaf dengan penuh penyesalan atas kesalahan yang pernah ia buat. Perlakukanlah sahabatmu sebagaimana kamu suka diperlakukan jika berada dalam posisinya.

jika seorang sahabat datang memohon maaf

dengan pengakuan atas kesalahan yang dilakukan jagalah jangan sampai engkau memarahinyadan maafkanlahsesungguhnya pemaaf adalah identitas pribadi sejati. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Shifatul-Qiyamah no. 2499, Ibnu Majah dalam az-Zuhd no. 4251, ad-Darimi dalam ar-Riqaq no. 2727, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad III/198, dalam riwayatnya terdapat tambahan: "Dan jika seorang keturunan Adam memiliki dua lembah berisi harta kekayaan, nescaya berusaha mencari lembah ketiga, dan tiada yang�dapat�mengisi perut keturunan Adam kecuali tanah." Semuanya berasal dari riwayat Anas radhiyallahu 'anhu. Dalam kitab Bulughul-Maram no. 1505, Ibnu Hajar berkata: "Sanad-nya kuat."Adapun al-Albani menyatakannya hasan dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 4515. )

Yunus an-Nahwi berkata: "Jangan musuhi seseorang, jika kamu mengira ia tidak akan memusuhimu. Jangan ragu untuk bersahabat dengan siapa saja, sekalipun kamu kira ia tidak akan menguntungkanmu. Sesungguhnya kamu tidak pernah tahu, kapan harus waspada terhadap musuh dan kapan perlu bantuan seorang sahabat. Jika ada yang meminta maaf darimu, maka maafkanlah, sekalipun kamu mengetahuinya hanya berpura-pura, agar kamu tidak banyak menyalahkan manusia." (Uyunul-Akhbar III/118, dan Raudhatul-�Uqala�, hlm. 183)

Betapa indah pepatah seorang Arab Badwi yang mengatakan: "Orang yang penuh kasih sayang adalah yang mahu memaafkan dan mendahulukan kepentingan saudaranya."

Abdullah bin Mu'awiyah bin Ja'far bin Abu Thalib berkata:

jangan surut kasihmu terhadap sahabat

hanya kerana melakukan satu kesalahantidak ada sahabat yang bebas dari kekurangan walau setinggi apa pun idamanmu ketika mencari (Al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 155)

Jangan merusak hubungan ukhuwah dengan menyakiti sahabat, walaupun ia menyakitimu. Jangan pula kamu mencari jalan agar dapat membuatnya menderita, demi membalas perbuatannya terhadapmu. Sikap seperti itu, sama sekali tidak mencerminkan sebuah hubungan ukhuwah. jika benar tuduhanmu bahawa aku pernah menyakitimu

biarlah kuterima, tapi di manakah perasaan ukhuwahmu
jika kamu menyakiti untuk membalas perbuatanku
di mana kebaikan dan keluhuran budimu (Raudhatul-Vqala, hlm. 185. )

Untuk itu, jika sahabatmu menyakiti atau berbuat kesalahan terhadapmu, maka sikapilah dengan lapang dada dan maafkanlah jika sanggup memaafkannya dengan penuh ketulusan. Namun jika tidak, tegurlah dengan baik. Seperti saran yang dianjurkan oleh Abu Darda' radhiyallahu 'anhu: "Menegur saudaramu atas kesalahannya adalah lebih baik daripada harus berpisah. Adakah yang sanggup menunjukkan kepadamu seorang sahabat yang sempurna?" (Ibnu Qutaibah, 'Uyunul-Akbar III/34, Hilyatul-Auliya' I/215, Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 174, al-'Iqdu al-Farid 11/78, dan Bahjatul-Majalis II/704. Di dalam buku yang sama (hlm. 705) tercatat ucapan Musa bin Ja'far: "Siapa yang dapat menunjukkan kepadamu seorang sahabat yang sempurna dan engkau tidak mendapatkan cela? (Tak ada, bila engkau tetap mencarinya), akhirnya engkau hidup tanpa seorang sahabat yang menemani.� )

Uraian di atas mendesak kita untuk membuat suatu pern bahasan khusus mengenai Fiqih Mu'atabah (tata cara memberi teguran yang professional).

Di satu sisi kita membaca nasihat para alim dan shalih yang menganjurkan agar menghindari teguran terhadap sahabat, namun pada sisi lain, terkadang mereka menyatakan bahawa teguran adalah ciri kehangatan ukhuwah. Untuk itu, kita bertanya, apakah kaedah yang dapat menjelaskan masalah ini?

Menghindari teguran, sebaiknya anda lakukan jika anda dapat menjamin tidak memiliki preseden buruk atau memendam penilaian negatif terhadap saudaramu. Jika tidak boleh menjamin, maka kebaikanmu dengan meninggalkan teguran hanya sebatas permukaan lahir saja, kerana pada hakikatnya anda menyimpan penilaian buruk di dalam hati sekaligus tidak memberi tahu letak kesalahannya dengan cara menegur. Padahal teguran tersebut dapat menghapus kezhalimanmu terhadapnya.

Singkatnya, anda dihadapkan kepada dua pilihan: pertama, tidak menegur dengan syarat hati bersih dari penilaian negatif. Pilihan pertama ini merupakan sikap yang sangat terpuji. Seperti yang dialami oleh Ibnu Sammak, ketika sahabatnya berkata: "Besok kita akan saling menyalahkan (menegur)." Namun Ibnu Sammak menjawab: "Tidak, justru besok kita akan saling memaafkan." (Lihat: Muhammad Ahmad ar-Rasyid, al-'Awa'iq (telah diterbitkan oleh Robbani Press dengan judul Hambatan-Hambatan Dakwah�Peny.), hlm. 129. )

Seorang penyair berkata: (Abu Hayyan berkata: "Pada suatu saat, Ibnu Tsawwabah Abul-Abbas memberi teguran kepada Sa'id bin Hamid berkaitan dengan suatu hal, maka Sa'id menulis surat kepada Ibnu Tsawwabah, di dalamnya ia mencatat sebuah puisi: "Jangan terlalu banyak menyalahkan, kerana waktu kita sangat sempit..." lihat: al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq; hlm. 68-69. )

jangan terlalu banyak menyalahkan
kerana waktu kita sangat sempit
suasana terkadang tenang namun terkadang juga bergejolak
aku tak pernah menangisi atau kecewa
kerana pasang surut sikapnya
hanya aku betul-betul menangis
ketika ia pergi tak kembali

ukhuwah mengikat begitu banyak manusia

jika mereka sudah bersatu
tak terasa kesusahan masa lalu
barangkali sisa umur kita terlalu pendek
buat apa kita terus saling menyalahkan
tanpa mengenal waktu

Penyair lain berkata:

mulai hari ini kita kembali sating kenal

menutup lembaran hitam masa lalu
seakan tiada kejadian atau peristiwa
seakan tiada 'kamu pernah bilang'
atau 'kami pernah berkata'

jika benar-benar tiada pilihan keduamaka tegurlah dengan baik tanpa membawa duka

Dengan demikian, langkah pertama yang dilakukan adalah menghindari teguran dengan syarat tidak menyimpan perasaan negatif di dalam hati. Namun jika syarat tersebut tidak boleh dipenuhi maka dapat digunakan langkah kedua, yaitu memberi teguran dengan menggunakan cara yang baik. Bagaimanapun, langkah kedua ini jauh lebih baik daripada harus kehilangan sahabat atau menyimpan perasaan buruk di dalam hati dan tidak menyampaikan teguran secara lisan.

Dalam keadaan inilah, Abu Darda' menyatakan: "Menegur seorang saudara adalah lebih baik daripada harus berpisah dengannya."

Demikian pula dengan pepatah yang mengatakan: "Teguran dapat menjaga kelangsungan hubungan baik antara sesama manusia."

Berkata seorang penyair:

jika tak menegur bererti tiada cinta cinta tetap bertahan selama ada teguran (Al-Iqdu al-Farid 11/78, dan Bahjatul-Majalis II/728. 85 )

Walaupun demikian, anda harus waspada, jangan lekas terpancing untuk menegur dalam semua hal, baik kecil mahupun besar.

Ringkasnya, teguran harus dilakukan ketika anda ingin menyatakan sikap atau penilaian terhadap sahabat. Dalam keadaan seperti itu, teguran menjadi sangat efektif untuk menghapus kesan negatif dan menyambung tali ukhuwah yang sempat terputus.

Dalam kisah tertentu, ada orang yang menjauhi sahabatnya tanpa menjelaskan alasan apa pun, sehingga membuat sahabatnya menderita dan bingung kerana tidak mengerti sebabnya. Sikap seperti ini sangat disesalkan.

Sekalipun demikian, anda harus waspada, jangan menegur dalam suasana yang tidak tepat, terutama ketika ia ditimpa suatu musibah, terlebih lagi jika musibah tersebut disebabkan oleh kesalahannya.

Lebih parah lagi, jika anda merendahkannya kerana kesalahan yang mengakibatkan munculnya musibah tersebut. Ingatlah, roda waktu terus berputar, suatu saat hal yang sama boleh menimpamu. Sikap yang semestinya ditunjukkan dalam keadaan seperti ini adalah menghindari teguran untuk sementara waktu, seakan-akan anda tidak mengetahui bahawa ia telah berbuat salah dan terus berupaya mendekatinya, sehingga menemukan kesempatan yang tepat. Dengan memilih waktu yang tepat hubunganmu menjadi baik kembali dan terhindar dari perselisihan.

Dari penjelasan di atas, kita tahu ada beberapa langkah yang harus dipertimbangkan agar tetap dapat menjaga hubungan dengan sahabat ketika ia melakukan kesalahan. Langkah pertama, anda mengetahui dan yakin bahawa ia melakukan kesalahan, lalu sikap pertama yang harus diambil adalah memaafkan dan melupakan kesalahannya.

Jika anda telah mencoba memaafkannya berkali-kali namun ia tidak segera sedar dan tetap melakukan kesalahan, maka dalam keadaan seperti ini sebaiknya anda mengambil sikap kedua, yaitu memperlakukannya setengah dijauhi, berilah teguran sebelum mengambil keputusan terakhir. Seringkali teguran dapat membuka hakikat masalah yang sebelumnya masih syubhat dan samar. ( Berkaitan dengan hal ini, kita dapat meneladani pendekatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengoreksi kesalahan Hathib bin Abi Balta'ah, saat ia mengirimkan surat kepada kaum Quraisy sebagai pemberitahuan mengenai rencana penaklukan kota Makkah. Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah memohon petunjuk kepastian kesalahan Hathib melalui wahyu. Langkah kedua, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempertanyakan motif perbuatan Hathib: "Apa yang mendorongmu melakukan itu?" Ketika Hathib menjawab bahawa ia ingin minta bantuan dari seorang di antara kaum musyrik guna menjaga kaum kerabat dan hartanya�bukan kerana kemunafikan atau khianat...namun bagaimanapun perbuatan tersebut adalah sebuah kesa-lahan, Rasulullahs/w//tf//a/!u 'alaihiwasallam tidak memutuskan hukuman kerana sekali kesalahan dalam peristiwa tersebut, melainkan membanding-kan dan mempertimbangkannya dengan jasa-jasanya. Hal tersebut tampak jelas ketika menolak permintaan Umar untuk membunuh Hathib, beliau bersabda: "Sesungguhnya ia (Hathib) ikut dalam Perang Badar, siapa tahu, barangkali Allah memiliki keputusan lain terhadap orang-orang yang ikut Perang Badar. Ternyata kemudian Allah mengatakan: lakukanlah (hai orang-orang yang ikut Perang Badar) apa saja terserah kemahuanmu, sesungguhnya Aku telah mengampunimu." Kisah Hathib ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Jihad no. 3007 dan 3081, al-Maghazi no. 3983 dan 4274, at-Tafsir no. 4890, dan Istitabatul-Murtaddin no. 6939. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Fadha'ilush-Shahabah no. 2494, Abu Dawud dalam al-Jihad no. 2650, Tirmidzi dalam at-Tafsir no. 3305, dan Ahmad dalam kitab at-Musnad 1/79, 80, dan 105 )

Jika teguran tidak memperlihatkan hasil, cobalah mencari cara yang lebih efektif, iaitu dengan menjauhinya. Jika dengan cara ini ia mahu menyadari kesalahannya dan keadaannya membaik, maka segeralah memaafkannya. Memberi maaf adalah lebih baik bagi orangyang sebenarnya mampu memberi sanksi. Berbuat salah merupakan hal yang biasa dilakukan oleh semua manusia yang hidup, tidak seorang pun yang luput dari dosa kecuali orang-orang yang sudah mati.

Dalam hal ini, Sa'id bin Humaid berkata:

jika sahabatmu terlalu sering berbuat dosa

maka bersikaplah antara tetap dekat dan menghindari tegurlah kerana seringkali ia mahu membuka kejelasan masalah yang selama ini tertutupi

atau jauhilah, semoga lebih bermanfaat

jika kamu gagal dengan teguran
maafkanlahjika ia berubah
sadar atas kesalahan dan mahu kembali

sikap maaf dari orang yang mampu adalah lebih baik

jika sebenarnya ia sanggup memberi saksi
sesungguhnya kamu tahu semua
orang yang hidup pasti berdosa
yang tidak melakukan dosa
hanya mereka yang sudah terkubur mati (Al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 80. )

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Fiqih Mu'atabah (cara-cara memberi teguran) adalah menghindari keharusan-keharusan formalitas pergaulan yang dinyatakan oleh sebagian kalangan masyarakat, seperti pernyataan "Seharusnya kamu yang mengunjungiku", atau memberi kesan kepada sahabat bahawa ia harus selalu meminta maaf atas segala hal untuk menghindari prasangka buruk.

Orang-orang shalih pada zaman dulu sangat menjauhi keharusan-keharusan formalitas seperti itu. Sebaliknya, masing-masing berusaha meringankan sahabatnya. Sebagai contoh, ketika seorang Salaf didatangi oleh sahabatnya yang memohon maaf kerana tidak sempat berkunjung, ia menjawab: "Sesungguhnya, ketika kita yakin dengan ketulusan seorang sahabat, kita tidak menyimpan perasaan apa pun seandainya ia tidak berkunjung." (Raudhatul-'Uqala', hlm. 89. Yunus bin Ubaid bercerita bahawa pada suatu saat ia tertimpa musibah, lalu ada orang yang bertanya: "Mengapa Ibnu 'Auf (sahabatnya) belum menjengukmu?" Yunus menjawab: "Sesungguhnya, ketika kita yakin dengan ketulusan seorang sahabat, kita tidak menyimpan perasaan apa pun seandainya ia tidak menjenguk." Dan dinyatakan dalam al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 64 bahawa pada suatu saat putra Yunus bin Ubaid meninggal, lalu ada yang berkata: "Sesungguhnya Ibnu 'Auf belum bertakziah kepadamu." Maka Yunus berkata: "Sesungguhnya, ketika kita yakin dengan ketulusan seorang sahabat, kita tidak menyimpan perasaan apa pun seandainya ia tidak menjenguk." )

Seorang penyair berkata:

banyak orang yang tinggal jauh
namun ia dekat di hati
banyak orang yang tinggal berdekatannamun hatimu tak mampu menyukai apalah ertijauh dan dekat melainkan hanya permasalahan nurani

Dalam suatu riwayat diceritakan bahawa pada suatu saat Abu 'Ubaid bin Salam datang berkunjung kepada Imam Ahmad bin Hanbal, ia berkata: "Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad), melihat kedudukanmu, seharusnya aku mengunjungimu setiap hari." Imam Ahmad menjawab: "Jangan berkata seperti itu. Sesungguhnya beberapa sahabatku tidak pernah bertemu kecuali hanya sekali dalam satu tahun, namun aku yakin mereka lebih tulus daripada orang-orang yang bertemu denganku setiap hari." (Ibnul-Jauzi, Manaqibul-Imam Ahmad, hlm. 151-152, dan al-Manhaj al-Ahmad 1/81. Di dalam kisah tersebut terdapat beberapa pelajaran lainnya, silahkan rujuk jika ingin mengetahuinya)

Ini merupakan realiti, ketulusan cinta tidak harus terbatas pada orang-orang yang sering bertemu. Sebaliknya, kita sering bertemu dengan orang yang tidak disukai bahkan menyebalkan. Seperti yang digambarkan oleh seorang penyair:

di antara nestapa dunia bagi seseorang adalah

harus selalu bertemu musuh yang mustahil jadi sahabat (Al-Ridayah wan-Nihayah XI/275, dan al-Mukhtar minash-Shadaqtih wash-Shadiq, hlm. 101. 88 )

Di sisi lain, jika manusia memfokuskan seluruh kegiatannya untuk menjaga sahabat, nescaya akan kehilangan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan wajib lainnya seperti menuntut ilmu, mencari terobosan baru dalam dakwah, berbakti kepada orang tua dan keluarga. Manusia memang memiliki prioritas kewajiban yang berbeda. Untuk itu, harus ada pengertian terhadap orang yang memiliki banyak kegiatan. Dalam keadaan seperti itu ia harus dimaklumi.

Beberapa kalangan Salaf, selalu menisbatkan budi baik dan keutamaan kepada sahabatnya, baik ia berada dalam posisi tamu yang berkunjung atau tuan rumah yang dikunjungi, sekalipun lebih muda atau lebih rendah kedudukannya.

Dalam hal ini kita boleh ambil contoh dari pernyataan Imam Syafi'i mengenai Imam Ahmad rahimahumallah. Imam Syafi'i adalah guru Imam Ahmad, dengan kata lain saat itu Imam Ahmad dikategorikan sebagai murid dan belajar beberapa disiplin ilmu dari Imam Syafi'i. Namun demikian, ketika ada orang yang menyinggung Imam Syafi'i tentang kebiasaannya dengan ujaran "Ahmad suka mengunjungimu dan engkau juga suka mengunjunginya", ia menjawab dalam untaian puisi:

mereka berkata, 'Ahmad mengunjungimu dan engkau juga

mengunjunginya'

aku menjawab: semua kemuliaan ada di rumahnya

(Ahmad)

jika ia mengunjungiku, itu kerana kemurahan hatinya

jika aku yang mengunjunginya, itu demi kebaikan

yang ada padanya dalam keadaan apa pun, semua kebaikan adalah
miliknya

Mereka benar-benar figur ulama mulia. Jika demikian sikap seorang guru terhadap murid, maka apatah lagi sikap murid terhadap gurunya? Cuba renungkan!

Cuba bandingkan antara ketulusan dan tawadhu dua imam di atas dengan mereka yang bersikap serampangan dan mudah tersinggung oleh sahabatnya. Juga dengan orang-oiang yang tidak mengindahkan hak-hak ukhuwah selain hanya dalam bentuk perhitungan dan tuntutan, tiada hari tanpa menegur atau menuntut haknya. Seperti yang dinyatakan oleh seorang penyair:

sahabatku menganggapsemua hakku hanya sebagai kelazimannamun semua haknyaharus kuanggap sebagai kewajiban

andaikan kutelusuri jalan sepanjang gunungmenjulanglalu kutelusuri jalan lain yang sama panjang

ia menganggap yang kulakukan belum cukup besar
dan jika sepanjang bumipun

ia tetap menganggap kurang (Raudhatul-�Uqala�, hlm. 119)

Ada juga sebahagian orang yang melontarkan teguran keras ketika berjumpa sahabatnya: "Ke mana saja kamu selama ini?", "Kenapa kamu tidak mencari kami?" Dan jika sahabatnya minta maaf, ia semakin jauh menegur, seakan-akan lupa bahawa teguran yang sama boleh ditujukan kepadanya.(Lihat: Fannut-Taamul ma�an-Nas, hlm. 33) Di pihak lain, sahabatnya tetap menjaga etika dan lebih rnemilih diam, seperti yang dilakukan oleh kaum Anshar ketika Rasulullah shallallahu 'alailii wasallam menegur mereka: "Bukankah aku datang ketika kamu semua dalam keadaan sesat, lain Allah memberimu petunjuk melaluiku? Jawablah kata-kataku wahai kaum Anshar!" Namun tiada seorang pun yang menjawab. Melihat demikian, dengan menjunjung budi tinggi dan sikap objektif, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Sekiranya kamu sekalian mahu menjawab, nescaya kamu katakan, 'Bukankah engkau datang kepada kami sebagai pengungsi yang terusir, lalu kami memberimu perlindungan...' (hingga akhir hadith)."
 (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Maghazi no. 4330, dan at-Tamanni� secara singkat�no. 7245. Juga Muslim dalam az-Zakah no.1061, dari riwayat Abdullah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad III/57 dari riwayat Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu anhu.)

MUDAH PERCAYA TERHADAP HASUTANORANG-ORANG YANG MENGADU DOMBADAN MEMENDAM DENGKI

Merupakan kesalahan besar jika anda mudah mempercayai isu yang berkembang mengenai sahabatmu, atau mudah menuduhnya telah melakukan perbuatan yang menyakitkan, hanya berdasarkan kepada khabar angin dan isu yang diterima. Padahal anda tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, bahkan tidak sesuai dengan yang anda ketahui dari kebiasaannya. Waspadalah, kerana banyak yang dengki kepada orang-orang yang terikat dalam jalinan ukhuwah. Para pendengki tersebut mempunyai kecemburuan yang sangat tinggi, mereka tidak suka melihat hubungan tulus yang begitu kuat mengikat orang-orang yang bersahabat, mereka tidak tenang selama tali ukhuwah tersebut belum terurai dan para sahabat bercerai-berai.

Abu Darda' berkata: "Turutilah saudaramu dan berlaku lembutlah kepadanya, jangan mudah terpedaya oleh khabar yang disampaikan oleh orang-orang yang dengki dan memusuhi saudaramu. Besok ajalnya akan tiba, kamu akan merasa kehilangannya. Buat apa kamu menangis setelah kematiannya, padahal selama hidup kamu menjauhinya." (Riwayat serupa terdapat dalam al-Hilyah I/215-216, �Uyunul-Akhbar III/34, dan Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 174.Ungkapan tersebut diawali dengan: "Menegur saudara adalah lebih baik daripada harus kehilangannya, dan siapa yang dapatmenunjukkan kepadamu seorang saudara yang sempurna, turutilah saudaramu..." )

Seorang penyair mengabadikan penyesalannya kerana kehilangan sahabat dalam untaian puisi:

kau ikuti hasutan musuh yang iri hati

siapa yang menuruti kata pendengki nescaya gigit jari

datang kepadaku seorang

yang tadinya kukira menyayangi

dan seperti pengakuannya

mahu menasihati

namun ketika obrolan semakin mendalam

rahsia maksud terpendam mulai terbongkar

akhirnya ku tahu ucapannya dusta belaka

kau berhak menyalahkanku

terserah apa kata mereka (Al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 62-63. 90 )
Suatu hal penting yang perlu anda perhatikan adalah, terkadang sikap anda membuat para pendengki menebarkan boleh hasutannya, seperti jika anda terlalu menampakkan cinta yang berlebihan terhadap sahabatmu di hadapan mereka. Mungkin anda mengira mereka suka melihatnya, kerana yakin bahawa seharusnya mereka seperti anda yang menyukainya, padahal mereka berbalik iri ketika mendengar ucapanmu. Bahkan kerana anda sering terlihat menjumpai sahabat, dapat memicu perasaan tidak suka, mereka cemburu dan dengki, lalu mencuba untuk menghancurkan kemesraan hubunganmu dengannya. Untuk itu, pandai-pandailah dalam mengungkapkan isi hati kepada sahabatmu ketika berada di tengah-tengah orang banyak. Namun demikian, orang-orang yang dipertemukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam sebuah jalinan ukhuwah harus yakin bahawa satu sama lainnya saling mencintai dengan penuh ketulusan yang muncul dari nurani yang paling dalam. Hubungan yang tulus seperti itu tidak mungkin dapat tersentuh oleh tangan-tangan dengki, apalagi sampai dapat dihancurkan. Sekuat apa pun mereka memusuhi, tetap tidak akan mampu menggoyahkan kukuhnya konstruksi ukhuwah yang dibangun oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ibnu Abbas berkata: "Nikmat boleh dikufuri, silaturrahim boleh terputus. Namun jika Allah mempertautkan hati manusia, nescaya tidak mungkin tergoyahkan."188 Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Alah Subhanahu wa Ta'ala:


"Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nescaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka" (al-Anhl [8]: 63).


MEMBUKA RAHSIA

Salah satu faktor yang dapat mempertahankan ukhuwah adalah menjaga rahsia sahabat agar tidak tersebar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan: "Jika seseorang diberitahu oleh sahabatnya mengenai suatu hal, lalu ia pergi, maka hal tersebut telah menjadi amanat (rahsia yang harus dijaga) baginya." ( Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Adab no. 4868, Tirmidzi dalam til-Birr wash-Shillah no. 1959, dan Ahmad dalam kitaal-Musnad III/324,352, 380, dan 394, semuanya berasal dari riwayat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, dan dinyatakanhasan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud no. 4075 dan kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 486. )

Anda harus ingat bahawa jika seorang sahabat telah menaruh kepercayaan kepadamu, maka ia tidak akan menyembunyikan semua sikap dan tindak-tanduknya darimu, ia akan berbicara dengan begitu lugas dan lepas. Padahal jika dengan orang lain ia tidak akan berbicara seperti itu, fahamilah karakter ini dengan baik.

Sebahagian ulama membuat ilustrasi mengenai sahabat yang membawa malapetaka jika dekat dengannya, iaitu orang yang jika dekat, ia berusaha mengetahui rahsia, mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan kita, memerhatikan kesalahan dan kekurangan, menghitung kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja, menghafal saat-saat kita tergelincir ucapan atau perbuatan spontan dalam keadaan biasa mahupun sedang marah, atau di dalam pembicaraan terbuka dan lepas yang siapa pun sulit terhindar dari kelalaian. Kemudian ia menjadikan semua hal di atas sebagai senjata untuk menjatuhkan sahabatnya di kala terjadi perselisihan. (Lihat: Ahmad al-Kuwaiti, ash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 15. 92 )

Jika anda mengetahui sesuatu tentang saudaramu, maka hati-hatilah agar tidak membuka rahsianya, atau membuka apa pun yang berhubungan dengan ucapan dan tindakannya yang seharusnya disimpan. Jadikanlah semua yang anda ketahui tentang dirinya sebagai amanat yang tidak boleh dibuka kecuali jika ia mengizinkan, atau anda yakin bahawa ia membolehkannya. Jika tidak, maka anda telah menyakiti dan merusak hatinya, bahkan akan berakibat lebih buruk, iaitu mengakhiri hubungan ukhuwah yang terjalin dengannya. Bagaimana tidak? Ia telah memohon kepadamu agar menjaga rahsia yang diceritakan kepadamu, namun tidak anda lakukan. Tentunya hal ini akan membawa malapetaka yang sangat besar.

Seorang penyair berkata:

jika seorang sahabat melakukan tiga kali kesalahan

maka juallah walau dengan segenggam bara

demi mendapatkan kelapangan dada dan ketulusan

serta menjaga rahasia dalam hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar