MENUTUP DIRI, BERLEBIHAN, MEMBEBANI, DAN MENGHITUNG-HITUNG KEBAIKANNYA KEPADAMU
Ja'far bin Muhammad berkata: bagiku, sifat sahabat yang paling menyusahkan adalah yang suka berlebihan, sehingga aku harus berhati-hati. Adapun sifat sahabat yang paling menyenangkan hatiku adalah, yang membuat keberadaanku bersamanya seperti ketika aku sendirian.
(Mukhtashar Minhajil-Qashidin, hlm. 100.)
Jika kamu ingin membuat hati seorang sahabat menjadi senang dan bersikap terbuka apa adanya, maka hindarilah sikap menutup diri dan jangan membuatnya merasa terbebani, jangan menghitung-hitung kebaikannya kepadamu, jangan memberatkannya agar melayanimu, dan bersikaplah rendah hati. Dalam hal ini, cara pandang yang paling baik adalah kamu menganggap dirimu lebih layak melayani daripada dilayani, dengan demikian kamu cenderung menganggap dirimu sebagai pelayan.
(Ibid)
Barangkali Umar bin Khaththab adalah peribadi yang boleh dijadikan contoh. Ia berbuat baik kepada siapa saja, tidak hanya sahabat dekat, melainkan juga budak-budaknya. Umar biasa melayani mereka padahal seharusnya merekalah yang melayaninya.
(Min Akhlaqis-Salaf, hlm. 112) Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahawa Ibnu Umar bertanya kepada Aslam (salah seorang pelayan ayahnya): "Wahai Abu Khalid (panggilan Aslam), aku tahu benar bahawa engkau adalah pelayan Umar yang paling sering menemaninya berbanding pelayan-pelayannya yang lain. Setiap kali Umar melakukan perjalanan, engkau selalu diajak bersamanya. Tolong ceritakan kepadaku, bagaimana perilaku Umar dalam perjalanan!" Aslam menjawab, seraya bercerita: "Umar tidak pernah menganggap dirinya lebih layak berteduh (daripada pelayannya), ia biasa menyiapkan kuda-kuda kami dan mengurusi kudanya sendiri. Pada suatu malam, kami terkejut melihat Umar sedang mengurus kuda-kuda kami juga kudanya, seraya melantunkan sebuah puisi:
jangan biarkan malam ini membuat hatimu resah
hiasilah ia dengan sehelai baju dan sorban
jadilah sahabat baik bagi Nafi dan Aslam
layanilah mereka
sehingga mereka mhau menganggapmu tuan
Siyaru A�lamin-Nubula� IV/99.)
Niatkan persahabatanmu sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai ungkapan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, bukan untuk turut menikmati kedudukan sahabat dan hartanya, atau memanfaatkannya sebagai fasilitator guna mempermudah urusan-urusanmu.
Di antara perkara yang dapat menyenangkan sahabatmu dan menjadikan kebersamaanmu dengannya seperti ketika ia sendirian adalah berusaha meringankan bebannya, jika ia termasuk orang yang serba kekurangan, baik tempat tinggal, pakaian atau pangannya. Jangan menampakkan perasaan hairan, jangan melihat kesana-kemari, jangan menimbulkan kesan bahawa ada sesuatu yang menarik perhatianmu.
Jika muncul perasaan ingin mengutarakan sesuatu yang tidak perlu, maka tahanlah. Jangan membuatnya sakit hati, melainkan tampakkanlah sikap sederhana, dan rendah hati, sehingga seakan-akan keberadaannya bersamamu sama seperti halnya ketika ia sendirian. Dengan cara seperti itu, kehangatan akan terjalin dan tumbuh dengan baik.
Seorang bijak berkata: "Siapa yang dapat menghilangkan kepura-puraan, nescaya cintanya akan tetap bertahan."
(Mukhtashar Minhajil-Qashidin, hlm. 100.)
Seorang Salaf berkata: sahabat yang paling jelek adalah yang engkau pergauli dengan penuh kepura-puraan.
(Al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 135.)
Beberapa kisah sirnanya cinta disebabkan oleh sikap berlebihan, baik dalam cara menyambut sahabat ketika bertemu atau sikap berlebihan lainnya. Diriwayatkan oleh Salman radhiyallahu 'anhu bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berlebih-lebihan dalam menghormati tamu. (
Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad V/441 merivvayatkan dari Syaqiq, atau sepertinya Syaqiq (perawi ragu), bahawa Salmanpernah kedatangan tamu, lalu ia mengajak tamunya untuk menyantap hidangan yang dimiliki, seraya berkata: "Kalau bukan kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami�atau sekiranya kami tidak dilarang�berlebihan dalam menjamu tamu nescaya kami akan berusaha mencarinya." Menurut al-Haitsami dalam kitab Majma'uz-Zawa'id VIII/79, hadith ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam kitab al-Kabir dengan beberapa sanad. Salah satu sanad dalam kitab al-Kabir sama dengan sanad kitab ash-Shahih, dari Syaqiq bin Salamah, ia berkata: "Aku dan seorang sahabatku berkunjung ke rumah Salman al-Farisi. Lalu Salman berkata: 'Sekiranya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang kami berlebihan, nescaya aku akan meng-hidangkan yang terbaik untukmu.' Kemudian Salman menghidangkan roti dan garam. Pada saat itu, sahabatku berkata: 'Kalau saja garam itu dicampur dengan rempah.' Maka Salman menggadaikan bejana yang biasa digunakan untuk bersuci dan membeli rempah. Setelah selesai makan, sahabatku berkata: 'Alhamdulillah, kami puas dengan rezeki ini.' Mendengar ucapan tersebut, Salman menimpali: 'Kalau engkau merasa puas dengan rezekimu, nescaya bejanaku tidak akan tergadai.'" Hadith ini diriwayatkan oleh Thabrani, dengan sanad yang sama dengan sanad kitab ash-Shahih selain Muhammad bin Manshur ath-Thusi, dan ia adalah seorang yang tsiqah. Hadith tersebut juga dicatat oleh al-Albani dalam kitab Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 2392, ia juga menisbatkannya kepada Hakim IV/123, dan Ibnu 'Adi (104-105), sekaligus menyebut beberapa jalan sanad lainnya. Kerana itu, silakan rujuk sumber tersebut. Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-l'tisham no. 7293, dari Anas, ia berkata: �Ketika kami bersama Umar, ia berkata: kita dilarang untuk berlebihan.� )
Fudhail bin Iyadh berkata: sesungguhnya yang menyebabkan manusia saling memutuskan hubungan adalah sikap berlebihan. Di antara mereka ada yang mengundang saha-batnya, lalu menyambutnya secara berlebihan, sehingga ia tidak mahu datang memenuhi panggilan lagi.
Adakalanya sikap orang yang mengundang tersebut membuat sahabatnya merasa terbebani jika mengundang di lain kesempatan.
Namun sebaliknya, keengganan untuk menyambut tamu dengan baik�padahal ia mampu�dengan alasan menghindari sikap mubadzir, termasuk dalam kategori sifat bakhil (kikir). Sunnah yang seharusnya dilakukan adalah menghormati sahabat dengan menyediakan apa-apa yang dimiliki dalam batas kemampuan.
( Hal ini diperkuat oleh hadith Salman di atas yang melarang untuk berlebihan. Dalam riwayat tersebut antara lain dinyatakan: "Janganlah ada yang berlebihan untuk menghormati tamu dengan sesuatu di luar kemampuannya." Hadith ini disebut oleh al-Albani dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah no. 2440. Demikian juga dalam riwayat Thahrani sebagaimana disebut dalam Majma'uz-Zawa'id VIII/179: �Rasulullah shailallahu 'alaihi wa sallam melarang kami berlebihan dalam menghormati tamu dengan sesuatu yang tidak kami miliki.� )
Sikap sederhana dan tidak berlebihan yang dicontohkan oleh para sahabat diriwayatkan oleh Abdullah bin Ubaid Umar, bahawa pada suatu saat, Jabir dikunjungi oleh beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Jabir menjamu mereka dengan roti dan cuka, ia berkata, �Makanlah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Sebaik-baiknya lauk adalah cuka.' Jabir meneruskan kata-katanya: Celakalah orang yang dikunjungi oleh sahabat-sahabatnya, lalu merasa sungkan untuk menjamu mereka. Dan celakalah orang-orang yang bertamu, lalu merendahkan jamuan yang dihidangkan untuknya.�(
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al-Musnad III/371, Thabrani dalam kitab al-Ausath, dan Abu Ya'la, sebagaimana disebut dalam kitab Majma'uz-Zawa'id VIII/180. Dalam kitab at-Targhib wat-Tarhib (III/374), al-Mundziri berkata: "Sebahagian sanadnya hasan dan kata-kata 'Sebaik-baiknya lauk adalah cuka', ada dalam kitab ash-Shahih. Adapun kata-kata 'Celakalah orang... dan seterusnya', adalah ucapan Jabir yang terselip di dalamnya, dan ia tidak marfu'. Wallahu A'lam.�)
Sikap berlebihan juga dapat terlihat dalam semangat bekerja, memberi perhatian, menolak istirahat atau gurau, bahkan enggan tersenyum. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan sifat para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain itu, boleh merenggangkan hubungan ukhuwah serta mengikis rasa cinta.
Dalam sebuah hadith shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud ath-Thayalisi dan Ahmad, Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu berkata: aku pernah menghadiri pertemuan dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari seratus kali. Kulihat para sahabatnya saling berbalas puisi atau cerita mengenai beberapa hal yang pernah dialami pada masa Jahiliyah, sementara itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetap diam, bahkan terkadang beliau terse-nyum mendengar percakapan sahabat-sahabatnya. (
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam al-Adab no. 2850, dan redaksi hadith di atas adalah dari riwayatnya, ath-Thayalisi dalam kitab al-Musnad no. 771, hlm. 105, dalam redaksi yang serupa, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad V/105, dari riwayat Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu. Hadith ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2286. Juga diriwayatkan oleh an-Nasa'i dalam as-Sanad III/80-81 dari Sammak bin Harb, ia berkata: "Aku berkata kepada Jabir bin Samurah: apakah engkau pernah berkumpul bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?" Ia menjawab: "Ya, jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai shalat Subuh, beliau tetap duduk di tempat shalatnya hingga terbit matahari. Sementara para sahabat berbincang-bincang tentang beberapa perkara yang mereka alami pada masa Jahiliyah, saling berbalas puisi dan tertawa, sedang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya tersenyum."
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadith shahih dalam kitabnya, al-Adab al-Mufrad, bahawa para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bermain saling melempar buah semangka. Namun dalam perkara-perkara yang serius mereka sangat dewasa.(
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad no. 266 dari riwayat Bakr bin Abdillah, dan dinyataknn shahih oleh al-Albani dalam kitab Shahihul-Adab al-Mufrad no. 201 dan dalam kitab as-Silsilah ash-Shahihah no. 435. 114 )
Faktor lain yang membebani ukhuwah dan dapat meng-hancurkan kehangatannya adalah kebiasaan menghitung-hitung kebaikan sahabat, atau membebaninya dengan tugas-tugas yang berat. Hubungan ukhuwah yang didasarkan atas prinsip 'menghitung apa yang ku lakukan untukmu dan apa yang kau lakukan untukku' tidak akan bertahan lama, apalagi jika tidak disertai dengan ketulusan cinta serta kejernihan hati...Terkadang, suatu usaha kecil yang dilakukan oleh sahabat untukmu, merupakan usaha yang sangat besar baginya, dan menjadi catatan kebaikan yang besar pula. Sebaliknya, suatu pekerjaan besar yang kau lakukan untuknya boleh dianggap kecil dan ringan dalam catatan amalmu. Pada dasarnya, apa pun yang dilakukan oleh seseorang tergantung kepada keadaan dan kemampuannya.
Sungguh jauh perbedaan antara apa yang diharapkan dari seorang yang kuat dan sehat dengan apa yang diharapkan dari orang yang lemah dan sakit. Sungguh beza antara yang diharapkan dari orang kaya dan berstatus terhormat, dengan yang diharapkan dari orang yang fakir dan tersisih. Sungguh beza antara yang dapat dilakukan oleh orang yang hanya memilki sedikit tugas, kesibukan dan masalah, dengan orang yang menanggung banyak tanggung jawab, masalah dan beban. Di sisi lain, kita tidak tahu jika ada bagian dari rasa cinta dan ketulusan hati yang tersembunyi dan hanya Allah yang mengetahuinya serta jauh dari sikap-sikap lahiriah yang tampak oleh mata. Untuk itu, jangan menyibukkan diri dengan perhitungan-perhitungan matematis atas apa yang telah dilakukan oleh sahabat kepadamu. Sibukkanlah dirimu dengan apa yang seharusnya diberikan kepadanya.
Seorang bijak berkata kepada sahabatnya: jagalah cinta, sekalipun tidak ada yang membalas dengan menjaganya untukmu. Pertahankanlah ikatan tali ukhuwah, sekalipun tiada sahabat yang mahu mempertahankannya.
(Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 180. 115 )
Di sini kami ulangi ungkapan puisi seorang penyair:
pertahankanlah hubunganmu
dengan orang-orang yang baik hati itu
sekalipun mereka menuduhmu memutuskan persahabatan
membuka pintu maaf dan lapang
atas kesalahan mereka
adalah pilihan sikap yang tepat
Tidak diragukan lagi, bahawa orang yang selalu menuntut haknya dalam ukhuwah dan menganggap bahawa memenuhi haknya adalah wajib, sementara hak-hak sahabatnya ia anggap sebagai 'sunnah' belaka, bahkan sama sekali menafikannya, adalah orang yang sangat menyusahkan. Selain itu, ia dianggap zhalim dan muthajfif (sikap menuntut orang lain agar memenuhi haknya, sementara ia mengurangi hak orang lain).
Seorang penyair berkata:
sahabatku menganggap semua hakku
hanya sebagai kelaziman
namun semua haknya harus kuanggap sebagai kewajiban andai kutelusuri jalan sepanjang gunung menjulang
lalu kutelusuri jalan lain yang sama panjang
ia menganggap yang kulakukan belum cukup besar
jika sepanjang bumi pun
ia tetap menganggap kurang
Adakalanya, kebaikan, keceriaan dan ketulusan seseorang menarik hati sahabatnya, sehingga ia mahu membantu dan melayaninya. Di lain pihak, bantuan dan layanan tersebut membuat orang pertama menjadi terlena dan merasa 'harus' dibantu serta dilayani secara terus-menerus, seakan-akan sahabat adalah makhluk yang tercipta untuk melayaninya, dan ia sebagai tuannya, seakan-akan sahabatnya tercipta untuk mencintai dan tidak layak dicintai, sementara ia sebagai orang yang 'selalu' dicintai dan tidak dituntut mencintai.
Dengan keadaan seperti ini, ukhuwah sangat sulit dipertahankan, sekalipun sahabat kita adalah seorang penyabar yang sangat hebat, sehebat kesabaran unta menempuh gurun Sahara...
Sungguh indah kata-kata seorang penyair:
jika engkau jadikan orang yang tulus mencintaimu
sebagai unta tunggangan
maka ketahuilah
bahawa engkau telah menyembelihnya
siapa pun yang engkau bebani
dengan seluruh hasratmu
nescaya benci dan menganggapmu telah menghinanya
Namun sangat disayangkan, masih banyak manusia yang suka membebani sahabatnya, sehingga ia dijauhi, lalu ia sibuk mencaci maki orang-orang yang pernah bersahabat dengannya. Di mana-mana ia berkata, "Aku belum pernah menemukan seorang pun sahabat yang benarbenar setia." Padahal, masalahnya ada pada dirinya sendiri.
Sungguh luar biasa dalam pemahaman yang ditunjukkan Ibnu 'Atha ketika melihat fenomena tersebut, iaitu ketika ia mendengar ada orang yang berkata: "Aku terus mencari sa-habat sejati sejak tiga puluh tahun lalu, namun sia-sia." Ibnu �Atha berkata kepadanya: "Barangkali, yang kau cari adalah sahabat yang boleh memberi. Seandainya yang kau cari adalah sahabat yang mahu kau beri, pasti akan menemukannya."
(Ash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 81-82. Juga lihat: Abu Hayyan at-Tauhidi, al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm.47. 116 )
Carilah sahabat yang akan kau beri ketulusan dan hak-hak ukhuwah, bukannya yang kau harapkan menerima sesuatu darinya.
Ikutilah keteladanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal tidak mahu membebani sahabatnya dan lebih memilih untuk membebani dirinya sendiri. Ketika mengomen-tari sebuah riwayat yang dinyatakan oleh Imam Muslim bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi untuk ditukarkan dengan makanan, Imam Nawawi berkata: "Adapun alasan mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari orang Yahudi tersebut dengan menggadaikan baju perangnya, dan beliau tidak melakukan hal yang sama dengan para sahabat adalah bahawa para sahabat akan tidak mahu menerima gadaian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka tidak mahu mengambil bayaran (atas pembelian yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam). Untuk itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih memilih bertransaksi dengan orang Yahudi agar tidak menyusahkan sahabatnya."
(Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi, XI/40.)
Di antara yang dapat menghindarkanmu agar tidak menyusahkan sahabat adalah pelunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang tertuang dalam hadith:
"Kunjungilah sahabatmu sewaktu-waktu, nescaya kamu bertambah sayang.�
( Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Thabrani dalam kitab al-Ausath, seperti yang dinyatakan dalam kitab Majma'uz-Zawa'id VIII/175. Juga oleh Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah II/322, Ibnu Qutaibah dalam kitab 'Uyumil- Akhbar III/30, dan Baihaqi�seperti yang dinyatakan dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir, semuanya berasal dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Baihaqi dari riwayat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu. Thabrani meriwayatkannya dalam tiga kitab Mu'jam-nya�seperti yang dinyatakan dalam Majma'uz-Zawa'id, dan Hakim dalam kitab al-Mustadrak III/347, dari riwayat Habib bin Maslamah radhiyallahu 'anhu. Di dalam kitab al-Kabir, Thabrani meriwayatkannya dari hadith Abdullah bin 'Amr. Al-Haitsami (Majma'uz-Zawa'id V1II/175) berkomentar: "Sanadnya jayyid (baik)." Al-Mundziri berkata: "Saya tidak menemukan satu pun sanadnya yang shahih, seperti yang dinyatakan oleh al-Bazzar. Namun ada beberapa sanad yang hasan (baik) dalam kitab Thabrani dan lainnya. Saya sudah menyebut sebagian besar sanadnya dalam kitab yang lain. WallahuA'lam." Lihat: at-Targhib wat-Tarhib 111/367. Adapun al-Albani menilainya shahih 72 dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 3568. Lihat juga: Faidhul-Qadir IV/62 dan Kasyful-Khafa' karya al-'Ajluni 1/438 )
Oleh kerana itu seorang penyair berkata:
aku melihatmu benar-benar mencintaiku
memendam rindu di kala kaujauh dariku
untuk itu aku jarang menemuimu
bukan kerana bosan atau dosa yang kulakukan
namun kerana sabda Nabi kita
kunjungilah sahabatmu sewaktu-waktu
juga kerana sabda Nabi kita
barangsiapa berkunjung sewaktu-waktu
nescaya akan bertambah kasih dan sayang
(Raudhatul-�Uqala', hlm. 116, Bahjatul-Majalis 1/257�dengan sedikit perbezaan dalam bait kedua, dan al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 105. Bait ketiga dalam buku ini berbunyi:namun kerana sebuah ungkapan yang kita kenal pada masa lalu siapa yang berkunjung sewaktu-waktu, nescaya bertambah sayang )
Labid, sang penyair juga berkata:
berhentilah dari kebiasaan berkunjung tiap hari kerana jika terlalu sering, sahabatmu akan bosan juga
(Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 178.) '
Penyair lain berkata:
kurangilah hitungan kunjunganmu kepada sahabat nescaya ia selalu menganggapmu sebagai baju baru sesungguhnya seorang sahabat akan merasa bosan jika selalu melihatmu hadir di depannya (
Uyunul-Akhbar III/33, dan Raudhatul-�Uqala', hlm. 117. Lihat juga: al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 78)
Ada juga penyair yang berkata:
lakukanlah kunjungan sewaktu-waktu
kerana jika sering dilakukan
akan menjadi bibit perselisihan
ku lihat turunnya hujan yang terus-menerus
akan membuat bosan
namun jika berhenti
tangan-tangan menengadah penuh harapan (
Raudhatul-'Uqala', hlm. 117, dan Bahjatul-Majalis 1/258�dengan sedikit perbezaan. )
Meski demikian, pada kenyataannya ada yang membezakan antara kedekatan seseorang yang tak pernah kering cintanya dengan orang yang jarang melihat atau mengunjungi sahabatnya. Untuk itu, adakah kaedah yang dapat mengukur perlunya sering atau jarang melakukan kunjungan? Terlebih lagi, jika ada yang khawatir akan kehilangan sahabat kerana jarang mengunjunginya?
Jawabannya adalah dengan menjaga tiga hal:
Pertama, jarangnya berkunjung jangan sampai disebabkan kerana tidak mengetahui masalah yang sedang dihadapi oleh sahabat, atau kerana melupakannya. Jarang berkunjung yang ideal adalah dengan tetap memperhatikan masalah dan keadaan sahabat. Dalam pengertian lain, berkunjung sesuai dengan keperluan.
Kedua, sebaiknya sering melakukan kunjungan jika sahabat memerlukannya, bukan kerana kepentinganmu semata. Kunjungan seperti ini dapat menambah cinta; kerana berusaha untuk memenuhi keperluan sahabat merupakan perbuatan mulia yang dianjurkan oleh agama; "Allah akan menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya."
Ketiga, jarangnya berkunjung jangan sampai membuat sahabat susah atau menimbulkan pandangan buruk terhadapmu. Masalah ini sangat relatif, di mana antara seseorang dengan orang lain berbeza, dan manusia tidak memiliki kadar perasaan yang sama. Yang penting adalah jangan terlalu sering melakukan kunjungan melebihi batas keperluan orang yang dikunjungi, kerana hal tersebut berpotensi membuka masalah dan kesalahan, bahkan boleh membuka permusuhan. Dalam puisinya, seorang penyair mengajak untuk tidak berlebihan dalam melakukan kunjungan:
aku merasa sungkan untuk selalu
berbuat baik kepada sahabat di kala dekat
atau untuk terus menghindarinya
ketika ia tinggal jauh dariku
(Adabud-Dunya wad-Din, hlm. 178.)
Al-Mawardi rahimahullah berkata: "Demikianlah yang dimaksud dengan tidak berlebihan dalam berkunjung dan menemui sahabat, iaitu tidak terlalu jarang dan tidak pula terlalu sering. Mengurangi kunjungan boleh berakibat putus hubungan, sementara terlalu sering berkunjung boleh membuat bosan.
Seorang pujangga bersyair:
kurangilah kadar kunjunganmu kepada sahabat
jangan pula terlalu menjauh
kerana ia boleh benar-benar jauh
orang yang kerap berkumpul dengan sahabat
akan merasa bosan kerana terlalu keseringan
sehingga yang tadinya selalu bahagia ketika berjumpa
menjadi enggan dan berat untuk menemuinya
seandainya ia berhati-hati dan menjaga diri
nescaya tidak terlalu besar kerugian yang
dideritanya
(Ibid)
Untuk yang terakhir, di antara perkara yang dapat menyusahkan sahabat adalah sahabatmu merasa bahawa kamu memaksakan ideamu agar diterima dan dipakai dalam segala hal, terus-menerus mencampuri kesibukannya dan kebiasaanmu untuk menilainya.
ENGGAN MENGUNGKAPKAN PERASAAN CINTA, MENUNJUKKAN INDIKASI ATAU HAL-HAL YANG DAPAT MENYUBURKANNYA, DAN ENGGAN MEMBELA SAHABAT KETIKA DISEBUT AIBNYA
Sebahagian orang enggan menyatakan perasaan cinta kepada orang yang ia cintai, atau paling tidak, menunjukkan indikasi-indikasi cintanya, baik dalam bentuk ungkapan, hadiah, senyuman, atau apa saja yang dapat menjelaskan isi hatinya. Sikap ini tidak benar, kerana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari kita bagaimana cara menunjukkan perasaan cinta dan menyatakannya. Beliau juga menunjukkan bagaimana membalas kebaikan seseorang sekalipun ia melakukannya dengan tulus kerana Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dengan demikian, adalah sikap berlebihan dan pura-pura tidak tahu, jika ada yang menganggap tidak perlu membalas budi baik orang lain, walau hanya dengan ungkapan pujian. Alasannya, balasan atas kebaikan seseorang menunjukkan bahawa ia melakukannya bukan kerana Allah semata. Selain itu, balasan akan membiasakannya mengharapkan upah/ganjaran selain dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada sisi lain, ia berkilah dengan sikapnya yang enggan menyatakan cinta atau memberitahukannya kepada sahabat, bahawa Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati. Ia beranggapan bahawa menyatakan cinta secara terbuka adalah pekerjaan sia-sia yang lebih baik tidak dilakukan.
Asumsi-asumsi seperti itu merupakan sikap yang berlebihan, pura-pura tidak tahu dan lebih menunjukkan kebodohannya, kerana RasuluUah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika seseorang mencintai saudaranya, maka kabarkanlah bahawa ia mencintainya. "
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Adab no. 5124, Tirmidzi dalam az-Zuhd no. 2392, Ahmad dalam kitab al-Musnad IV/130, Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad no. 532, Hakim dalam kitab al-Mustadrak IV/171, dan Ibnu Hibban no.569 (dalam kitab al-Ihsan). Hakim menilainya shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi, juga al-Albani menyatakannya shahih dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud no. 4273, dan Shahihul-Adab al-Mufrad no. 421 ) Dalam riwayat lain dinyatakan:
�Jika seorang di antara kamu mencintai saudaranya kerana Allah, maka kabarkanlah kepadanya, kerana hal itu dapat mengekalkan keakraban dan memantapkan cinta.�
(Diriwayatkan oleh al-Waki' dalam kitab az-Zuhd II/67/2 dengan sanad yang shahih dari riwayat Ali bin al-Husain secara marfu'. Riwayat ini diperkuat oleh hadith Mujahid secara mursal yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al-Ikhwan�sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Fathu al-Kabir I/67. Dengan adanya beberapa jalan periwayatan, hadith tersebut menjadi hasan�insya Allah. Disadur secara ringkas dari kitab Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 1199, adapun hadith tersebut terdapat dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 280 ) Dalam riwayat lainnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: �Jika seorang di antara kamu mencintai sahabatnya, maka temuilah di rumahnya dan kabarkanlah bahawa ia mencintainya keraena Allah.�
(Diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al-Musnad V/145 dengan redaksi seperti berikut: Abu Salim al-Jaisyani mengunjungi Abu Umayyah di rumahnya, seraya berkata, "Aku mendengar Abu Dzar mengatakan bahawa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Jika seorang di antara kamu mencintai sahabatnya, maka temuilah di rumahnya dan kabarkanlah bahawa ia mencintainya kerana Allah.' Dan kini aku telah datang ke rumahmu." Juga diriwayatkan oleh Ibnul-Mubarak dalam kitab az-Zuhd dan Abullah bin Wahb dalam kitab al-Jami'. Al-Albani (Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 797) dan Syu'aib al-Arna'uth (ketika mentakhrij kitab Syarhus-Sunnah XIII/67) menyatakannya shahih. )
Dalam hadith lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
�Saling memberi hadiahlah, nescaya kamu saling mencintai.�
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad no. 594, dan Baihaqi dalam Sunan-nya VI/169. Hadith ini dinilai hasan oleh al-Hafizh (Ibnu Hajar) dalam kitab at-Talkhish�sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Albani dalam kitab al-Irwa' VI/44, ia juga menilainya hasan. Silahkan merujuk beberapa jalan periwayatan dan riwayat penguatnya dalam buku tersebut.)
Mengenai ucapan terima kasih dan membalas kebaikan kepada sesama manusia, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
�Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia bererti tidak bersyukur kepada Allah.�
(Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 1955, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad 111/32 dan 74, dari riwayat Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu 'anhu. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Adab no. 4811, Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 1955, dan Ahmad dalam kilab al-Musnad II/258, 295, 303, 388, dan 461, dari riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dua riwayat tersebut dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 6541 dan kitab Shahih Sunan Abi Dawud no. 4026. 121 )
Dalam peristiwa perang Khandaq, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: �Ya Allah, tiada kehidupan (yang hakiki) selain kehidupan akhirat, maka ampunilah (ya Allah), kaum Anshar dan orang-orang yang berhijrah (Muhajirin).�
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam ar-Riqaq no. 6414, Muslim dalam al-Jihad no. 1804, Tirmidzi dalam al-Manaqib no. 3856, dan Ahmad dalam kilab al-Musnad V/332, semuanya berasal dari riwayat Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Jihad no. 2834 dan 2835 serta beberapa tempat lainnya, Muslim dalam al-Jihad no. 1805, Tirmidzi dalam al-Manaqib no. 3857, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad I1I/172 dan 180, dari riwayat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
Doa yang baik dikategorikan pujian, bahkan pujian yang paling istimewa, dan hal ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
�Barangsiapa yang memperoleh kebaikan dari sahabatnya, lalu berkata: jazakallahu khairan (semoga Allah memberimu balasan yang lebih baik), maka ia telah memujinya secara istimewa.�
(Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 2035, dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 6368. Semua uraian di atas boleh dilihat dalam buku Fannut-Ta'amul ma'an-Nas, hlm. 48. )
Semua yang diterangkan di atas; berterus terang menyatakan cinta, memberi hadiah, mengucapkan terima kasih, memberi pujian dengan doa dan semisalnya, juga memberi saran, merupakan faktor-faktor yang boleh menumbuhkan cinta. Tentunya, semua itu berbeza dengan ucapan terima kasih dan pujian yang dilarang oleh syari'at.
Mengucapkan terima kasih dan memuji pelaku kebaikan dengan harapan dapat memicu untuk berbuat baik lebih banyak lagi, adalah tindakan yang benar dan pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun memuji seseorang yang bukan pada tempatnya atau yang dapat membuat orang tersebut berubah sombong, adalah dilarang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di dalam sebuah hadith beliau bersabda:
�Jika kamu menemukan orang yang suka memuji, maka lemparlah wajahnya dengan debu.�
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam az-Zuhd no. 3002, Abu Dawud dalam al-Adab no. 4804, Tirmidzi dalam az-Zuhd no. 2393, Ibnu Majah dalam al-Adab no. 3742, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad VI/5, semuanya berasal dari riwayat Miqdad bin al-Aswad radhiyallahu 'anhu. Juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al-Musnad II/94, dari riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Imam Nawawi mengatakan: "Dalam bab ini. Imam Muslim menyebut beberapa hadith yang berkaitan dengan larangan memberikan pujian. Namun dalam kitab Shahihain terdapat beberapa riwayat yang membolehkan memuji wajah. Jalan tengah yang boleh dilakukan untuk memadukan dua hadith tersebut adalah, bahawa kita dilarang memuji secara berlebihan atau menambahkan sifat objek yang dipuji, atau ketika dikhawatirkan muncul fitnah�seperti perasaan takjub dan semisalnya jika dipuji. Sedangkan bagi orang yang tidak dikhawatirkan terfitnah kerana kesempurnaan takwa dan kedewasaan akalnya, maka tidak dilarang selama tidak berlebihan. Bahkan, jika dapat mendorong timbulnya maslahat seperti semangat melakukan kebaikan, konsisten dalam melaksanakannya atau ia akan diteladani oleh orang lain, maka hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Wallahu A'lam." Lihat: Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi karya Imam Nawawi XVIII/126. 263) Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam al-Adttb no. 3743, dan Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad IV/92, 93, dan 99 di tengah-tengah sebuah hadith. Al-Albani menilainya shahih dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 2674.) �Jauhilah perbuatan saling memuji.�
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam al-Adttb no. 3743, dan Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad IV/92, 93, dan 99 di tengah-tengah sebuah hadith. Al-Albani menilainya shahih dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 2674. )
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memuji sebagian sahabatnya sebagai motivasi, seperti ketika mendengar ada seorang Anshar yang melakukan perbuatan yang sangat baik, beliau bersabda:
�Barangsiapa melakukan kebiasaan (sunnah) yang baik maka ia memperoleh pahala kebaikan itu dan pahala orang-orang yang melakukannya hingga hari kiamat.�
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam az-Zakah no. 1017, an-Nasa'i dalam az-Zakah V/75-76, Ahmad dalam kitab al-Musnad IV/357, 359, 360, dan 361, dan al-Baghawi dalam kitab Syarhus-Sunnah no. 1661)
Begitu juga ketika beliau memuji al-Asyaj Abdul Qais:
"Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang disukai oleh Allah, iaitu sabar dan tenang.�
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Iman no. 17, dan Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 2011, dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu� dalam riwayat Tirmidzi tidak tercatat kisah tibanya delegasi Abdulqais seperti yang dicatat oleh Muslim. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Iman no. 18, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad III/22-23, dari riwayat Abu Sa'id al-Khudri ra, Abu Dawud dalamal-Adab no. 5225, dari riwayat Zari' (ia adalah salah seorang delegasi Abdulqais), dan Ahmad dalam kitab al-Musnad IW 206 dan 207, dari riwayat beberapa delegasi Abdulqais, tanpa menyebut namanya)
Dalam hadith lain beliau bersabda: �Orang yang paling besar kasih sayangnya terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegar dalam menegakkan agama Allah adalah Umar, yang paling tulus rasa malunya adalah Utsman, yang paling pandai membaca al-Qur'an adalah Ubay bin Ka 'b, yang paling pintar ilmu Fara 'idh adalah Zaid bin Tsabit, yang paling dalam pengetahuannya mengenai hukum halal dan haram adalah Mu 'adz bin Jabal. Dan setiap umat memiliki Amin (orang yang dipercaya menyimpan data rahsia/sekretaris), dan sekretatis umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.�
(Diriwayatkan oleh al-Waki' dalam kitab az-Zuhd II/67/2 dengan sanad yang shahih dari riwayat Ali bin al-Husain secara marfu'. Riwayat ini diperkuat oleh hadith Mujahid secara mursal yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al-Ikhwan�sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Fathu al-Kabir I/67. Dengan adanya beberapa jalan periwayatan, hadith tersebut menjadi hasan�insya Allah. Disadur secara ringkas dari kitab Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 1199, adapun hadith tersebut terdapat dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 280 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab al-Musnad III/184 dan 281, Tirmidzi dalam al-Manaqib no. 3790 dan 3791, dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah no. 154, ia menambahkan dalam riwayatnya: "Dan yang paling pandai meng-hukumi (menjadi hakim) adalah Ali bin Abi Thalib." Juga Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah III/122, ada juga yang meriwayatkan dengan redaksi yang serupa, seperti ath-Thayalisi dalam kitab al-Musnad IX/281 no. 2096, dan al-Baghawi dalam kitab Syarhus-Sunnah XIV/131-132. Riwayat tersebut dinilai shahih oleh al-Albani dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 895, dan kitab Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 1224, al-Albani juga menisbatkannya kepada referensi lainnya)
Dalam hadith tersebut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memuji tiap-tiap sahabat dengan kelebihan yang dimilikinya.
(Fannut-Taamulma'an-Nas, hlm. 49-50. 124 )
Jika ada yang berpendapat bahawa ada perbedaan yang menyolok antara kita dengan para sahabat Nabi yang harus dipertimbangkan, kita menjawab bahawa ada juga perbezaan yang sangat jelas antara erti pujian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pujian manusia biasa.
Dalam kitab Mukhtashar Minhajil-Qashidin ada pemba-hasan mengenai hak-hak seorang Muslim yang harus dipenuhi, dengan pernyataan seperti berikut:
"Hak berikutnya adalah yang berhubungan dengan kewajiban lisan, iaitu ucapan. Seorang Muslim harus mendekati saudaranya dengan ucapan; bertanya tentang keadaannya, masalah yang sedang dihadapinya, menunjukkan kegelisahan ketika menyebutnya, menampakkan rasa bahagia ketika ia bahagia. Secara praktis hal ini boleh dilakukan antara lain dengan cara memuji kebaikan-kebaikannya�sejauh yang ia ketahui�di depan orang lain, juga dengan memuji prestasi anak-anak dan keluarganya, tidak luput pula kebaikan akhlak, intelektualitas, reputasi, keahlian menulis, mengarang dan semua hal yang boleh membahagiakannya, asal tidak berlebih-lebihan atau mengada-ada.
Selain itu, ia harus menyampaikan pujian orang lain yang ditujukan kepadanya dengan menunjukkan sikap yang turut bergembira. Sesungguhnya menyembunyikan pujian yang ditujukan kepada sahabat adalah sama dengan hasad (iri). Kamu harus bertima kasih atas kebaikan-kebaikannya kepada-mu dan membela nama baiknya jika dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kerana di antara hak ukhuwah adalah membela dan mempertahankan nama baik sahabat. Dalam sebuah hadith shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
�Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menyerahkannya.�
(Lihat catatan kaki no: 48. )
Jika tidak membela sahabat bererti telah menyerahkannya.
Ketika mendengar sahabat kita dihina oleh orang lain, kita mesti membayangkan keadaan tersebut dalam dua sikap berikut ini:
Pertama, anda bayangkan bahawa apa yang dikatakan mengenai sahabat anda, juga pernah menimpa anda dan sahabat mendengarnya. Dengan demikian tentunya anda akan mengatakan tentang sahabat anda seperti apa yang anda suka mendengarnya dari lisan sahabat mengenai anda.
Kedua, anda anggap bahawa sahabat anda sedang mendengar pembicaraan anda dari balik dinding. Dengan demikian hati anda akan tergerak untuk membelanya, baik ia hadir di situ mahupun tidak. Orang yang tidak tulus dalam bersahabat adalah munafik. Seorang sahabat boleh dikatakan setia jika ia tidak mahu mendengar isu-isu mengenai sahabatnya dan tidak menjalin persahabatan dengan musuh sahabatnya
. (Bukan bererti harus memusuhi musuh sahabatnya. Maksudnya adalah ia tidak boleh melakukan dua hubungan ukhuwah khusus sekaligus antara sahabatnya dengan orang yang menjadi musuhnya, melainkan harus memilih salah satu di antara mereka berdua untuk ukhuwah khusus. Sementara yang lain tetap dalam koridor ukhuwah Islam dan kecintaan yang bersifat umum dan biasa terjalin antara sesama Muslim, selamatidakterdapat faktor-faktor syar'iyang membolehkan untuk memusuhidan membencinya. Lihatjuga: Mukhtashar Minhajil-Qashidin, hlm. 98-100)
Ukhuwah yang kukuh dan sempurna dapat terwujud jika dapat menjaga hubungan lahir dan batin. Jika seorang mampu mewujudkan cinta lahir dengan baik dan didorong oleh kekuatan cinta batin serta menunaikan segala tuntutan-tuntutannya tanpa harus diketahui oleh sahabat, bererti ia telah menyempurnakan seluruh hak-hak ukhuwah.
Salah satu faktor yang dapat menumbuhkan cinta adalah murah senyum dan menampakkan wajah ceria ketika bertemu dengan sahabat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dan senyumanmu di depan seorang saudara adalah shadaqah."
(Lihat catatan kaki no. 90)
Begitu juga dengan perasaan gembira di saat berjumpa dengannya, segera memberi kabar yang membuatnya bahagia, mengucapkan selamat atas kejayaan yang diraih olehnya, turut berduka dan mahu meringankan musibah yang menimpanya, dan seterusnya. Seperti yang terungkap dalam sebuah hadith yang meriwayatkan peristiwa taubatnya Ka'b bin Malik:
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumumkan bahawa Allah telah menerima taubat Ka'b, maka Thalhah bin Ubaidillah segera bergegas menuju Ka'b di peng-asingannya guna memberitahu perihal kabar gembira tersebut. Ka'b tidak boleh melupakan sikap tanggap yang ditunjukkan oleh Thalhah dalam peristiwa tersebut.
( Kisah ini dimuat dalam hadith Ka'b bin Malik radhiyallahu 'anhu dalam peristiwa Perang Tabuk. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Maghazi no. 4418, Muslim dalam at-Taubah no. 2769, dan beberapa perawi lainnya)
Hadith tersebut mengajari kita agar mengucapkan selamat dan menunjukkan kebahagiaan atas anugerah yang diterima oleh sahabat. Sikap tersebut meninggalkan bekas yang sangat baik dalam dirinya. Di dalam hadith yang sama, juga dinya-takan bahawa ada sahabat yang segera loncat ke atas pelana kudanya dan memacu sekuat tenaga untuk menyampaikan kabar gembira pengampunan Allah kepada Ka'b. Ada juga sahabat lain yang mendaki bukit lalu berteriak sekuat tenaga untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, ia berharap suaranya akan lebih cepat sampai dan terdengar oleh Ka'b. Ketika sahabat yang menunggang kuda tadi sampai, Ka'b segera membuka gamis dan mengenakannya kepada sahabat-nya tersebut, sebagai tanda bahagia atas kabar yang disampai-kan dan perbuatannya. Hal ini menunjukkan betapa dalam pengaruh kabar gembira tersebut dalam diri Ka'b bin Malik.
Faktor lain yang dapat menumbuhkan cinta dan menjer-nihkan kasih sayang adalah menyebarkan salam dan Anda adalah orang yang memulainya, memberi tempat duduk kepada sahabat dan menempatkannya di sampingmu, serta memang-gilnya dengan nama yang paling ia sukai. Rasulullah shallal-lahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Mahukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang apabila dilakukan nescaya kamu saling mencintai; sebarkanlah salam di antara kamu.�
(Lihat catatan kaki no. 91)
Umar bin Khaththab pernah berkata: tiga hal yang dapat memurnikan tali kasih seorang sahabat terhadapmu; jika bertemu tegurlah dengan salam terlebih dahulu, memanggilnya dengan nama yang paling disukai, memberi tempat kepadanya dalam suatu acara."
Agar cinta tumbuh kukuh, maka harus terbentuk rasa saling percaya antara dirimu dengan sahabat. Buatlah iayakin dengan keistimewaan kedudukannya di matamu dan bahawa engkau mencintainya. Juga yakinkanlah bahawa Anda mem-percayainya, dan mengetahui erti cintanya yang begitu besar kepadamu.
Al-Yazidi mengatakan: dalam sebuah pertemuan aku melihat Khalil bin Ahmad, ia duduk di sudut ruangan yang beralaskan karpet. Khalil memberiku tempat duduk, namun aku tidak mahu membuatnya susah kerana terlalu sempit. Melihat keenggananku, Khalil berkata: "Sesungguhnya lubang jarum tidak terlalu sempit bagi dua orang sahabat yang saling mencintai. Sebalikya, dunia ini tidak cukup luas bagi dua orang yang bermusuhan."
(Ibnu Qutaibah, 'Uyunul-Akhbar 111/16. Kisah serupa juga dialami oleh az-Zayadi dengan al-'Atabi seperti yang diceritakan oleh al-Khaththabi dalam kitab al-Vzlah, hlm. 59. Juga Abu Hayyan dalam kitab ash-Shadaqah wash-Shadiq, menceritakan kisah yang sama antara al-Ashma'i dengan al-Khalil. Dalam kisah tersebut al-Khalil berkata: "Diamlah, sesungguhnya dunia dan isinya tidak cukup luas bagi dua orang yang saling membenci, dan lubang sebesar satu jengkal kali satu jengkal cukup untuk dua orang yang saling mencintai." Lihat: al-Mukhtar minash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 70)
Ungkapan seperti itu menunjukkan bahawaa anda betul-betul mencintai sahabat. Kisah lainnya diriwayatkan oleh Muhammad bin Sulaiman. Suatu ketika Muhammad bin Sulaiman berkata kepada Ibnu Sammak: "Aku mendengar isu yang menyisihkanmu." Ibnu Sammak menjawab: "Aku tidak peduli." Dengan nada heran Muhammad bin Sulaiman bertanya lagi: "Kenapa demikian?" Ibnu Sammak segera menjawab: "Kerana jika isu itu benar, aku yakin kamu pasti memaafkannya. Namun jika tidak benar, kamu tentu menolaknya."
(Ash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 66)
Seorang Salaf berkata: "Sesungguhnya ketika kami yakin dengan ketulusan cinta seorang sahabat, tidak akan merasa sedih jika ia tidak datang berkunjung." Nyaris sama, Imam Ahmad menjawab Abu Ubaidillah bin Salam ketika ia berkata: "Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad), jika melihat kedudukanmu, seharusnya aku mengunjungimu setiap hari." Imam Ahmad menjawab: "Jangan berkata seperti itu, sesungguhnya aku punya beberapa sahabat yang tidak dapat berjumpa kecuali hanya sekali dalam satu tahun, namun aku yakin cintanya lebih besar dari orang yang ku temui setiap hari."
Seorang Salaf menulis surat kepada sahabatnya: "Amma ba'du, jika aku punya banyak sahabat yang tulus, maka engkaulah yang menempali urutan pertama di antara mereka. Dan jika sedikit, maka engkau adalah orang yang paling tulus di antara mereka. Namun jika sahabatku itu hanya seorang, maka engkaulah orangnya."
(Ibid. hlm 41) Coba renungkan ungkapan di atas dan beberapa ungkapan sebelumnya yang mengandung pernyataan perasaan cinta.
Dalam suratnya, Ibnu Akmal berkata kepada Ibnu Surin� mereka berdua mewarisi tradisi persahabatan yang turun-menurun: "Sekiranya engkau mahu, engkau boleh menghilangkan dahaga saudaramu ini dengan keceriaan wajahmu, memberi kesejukan kepadanya dengan kunjunganmu, menghangatkan kesepiannya dengan kehadiranmu, menjernihkan pandangan orang lain terhadapnya dengan senyum wajahmu, menghiasi acaranya dengan kedatanganmu, engkau makan siang dengan-nya di rumahyang sudah dianggap rumahmu sendiri, memberi kebahagiaan kepadanya sepanjang sisa hidupnya. Engkau lakukan itu semua di atas kesibukanmu, aku yakin engkau mahu melakukanya, insya Allah."
Ibnu Sunn menjawab: "Bagaimana aku sanggup menghilangkan dahagamu sementara aku lebih dahaga darimu, selain hal itu tidak mungkin ku lakukan. Perjumpaan akan lebih memberi kesejukan bagi jiwa yang dahaga, ia dapat mengumpulkan kembali kehangatan yang nyaris berserakan; inilah aku, telah ku persiapkan seluruh kekuatanku untuk melayanimu, ku persiapkan jiwaku agar selalu senang mendengar kata-katamu."
Membangun kepercayaan yang kukuh hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sifat tawadhu (rendah hati) dan berhati bersih. Ia adalah orang yang menganggap dirinya bukan apa-apa jika dibandingkan sahabatnya. Perhatikanlah contoh berikut ini mengenai dua sahabat yang sama-sama rendah hati dan berusaha memperkuat kepercayaan sahabatnya.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa pada suatu saat, dua orang sahabat yang saling mencintai kerana Allah berjumpa. Seorang di antara mereka berkata: "Demi Allah, wahai saudaraku, sungguh aku mencintaimu kerana Allah." Sahabatnya menjawab: "Seandainya engkau mengetahui hakikat diriku seperti yang ku ketahui, nescaya engkau membenciku kerana Allah." Orang pertama menimpali: "Demi Allah, wahai sahabatku, andaikan aku mengetahui dirimu seperti yang kau ketahui, hakikat diriku yang kuketahui akan menghalangiku untuk membencimu."
Ungkapan-ungkapan seperti ini dan sejenisnya yang mengandung pernyataan cinta dan menunjukkan kemahiran dalam mengungkapkannya, baik dengan ucapan atau per-buatan lahir, sangat berperan dalam menguatkan hubungan antara dua sahabat, seperti yang digambarkan dalam contoh di atas. Apalagi jika ditambah dengan kekuatan cinta batin dan perasaan hati, serta usaha memenuhi semua hak sahabat ketika berjauhan, seperti upaya mempertahankan, membela, dan mendoakannya dari kejauhan.
Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih disebutkan, bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: seorang malaikat yang ditunjuk untuk tugas itu, setiap kali ia berdoa untuk saudaranya, malaikat yang ditunjuk tersebut berkata: amin (semoga Allah mengabulkan), dan bagimu kebaikan yang sama."
Seorang sahabat Nabi, iaitu Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, selalu berdoa untuk segenap sahabatnya dengan menyebut nama-nama mereka.
(MukhtasharMinhajil-Qashidin, hlm. 99) Imam Ahmad rahimahullah pernah mendoakan enam orang sahabat terdekatnya di tengah keheningan malam.
(Ibid) Yahya bin Mu'adz berkata: "Sahabat paling buruk adalah yang kamu rasa harus berkata kepadanya: 'Sebutlah namaku dalam doamu', kamu bergaul dengannya penuh dengan kepura-puraan, atau kamu merasa perlu untuk minta maaf kepadanya."
Doa untuk sahabat tidak boleh terputus walau setelah kematiannya. Kerana hal itu menunjukkan kesempurnaan cinta, keikhlasan dan kesetiaanmu kepadanya
MELUPAKANNYA KERANA SIBUK MENGURUSI ORANG LAIN DAN KURANG SETIA
Di antara gambaran akhlak buruk dalam berukhuwah adalah ketika berhasil berkenalan dengan seorang sahabat baru yang belum diketahui seluk beluk diri dan kepribadiannya, anda lantas meninggalkan sahabat yang telah bergaul denganmu dalam jangka waktu yang cukup lama. anda terus meninggalkan sahabat lama sehingga melupakannya, kemudian menuai akibat yang sangat buruk, iaitu terputusnya tali ukhuwah dengannya.
(Ash-Shadaqah wash-Shadiq, hlm. 17)
Sayugianya, orang yang meninggalkan sahabat lama yang ia kenal dengan baik dan tidak pernah mengecewakannya hanya kerana mengenal sahabat baru, harus merenungkan makna pepatah yang mengatakan: "Orang yang tidak boleh membuktikan cintanya kepada sahabat lama tidak akan mampu membangun cinta dengan sahabat baru."
(Ibid, hlm. 18)
Salah satu penyebab kekecewaan seorang sahabat adalah ketika ia berusaha sekuat tenaga untuk dekat denganmu dan selalu mengutamakanmu dari siapa pun juga, ia justru mendapatimu tidak setia dan tidak menghargainya.
sekuat tenaga aku berusaha mendekatimu
dan terus berusaha
namun aku tidak melihat seorang pun
yang teguh memegang janji
Betapa sedih hati seorang sahabat yang mendapat perla-kuan buruk dan sikap dingin seperti itu, betapa sakit hatinya ketika melihat sahabatnya telah melupakan dirinya setelah sekian lama berusaha berkorban apa saja agar boleh bersahabat dan dekat dengannya. Seorang penyair menggambarkan suasana hati yang miris tersebut dalam puisinya:
kami pernah punya seorang sahabat
kemudian ia menjauhi
enggan bergaul dan mengkhianati
ia berseberangan dengan kami dan semakin jauh
akhirnya kami tak mahu melihatnya kembali
dan ia pun tidak mahu melihat kami lagi
Di antara tanda-tanda kesetiaan terhadap sahabat adalah berdoa untuknya dari kejauhan, baik selama ia hidup atau setelah kematiannya, berbuat baik kepada orang yang dicintainya juga keluarganya, jika ia sudah mati. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tetap berbuat baik kepada sahabat-sahabat wanita Khadijah setelah ia wafat.
(Salah satu contohnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyembelih seekor kambing dan membagi-bagikan dagingnya kepada sahabat-sahabat wanita Khadijah secara merata. Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Fadha'iluAshhabin-Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam no. 3816 dan 3818, dan di beberapa tempat lain. Juga Muslim da\&m Fadha'ilush-Shahabah no. 2435, dan Tirmidzi dalam al-Manaqib no. 3875. )
Dan termasuk dalam kategori birrul-walidain (berbakti kepada kedua orang tua), jika kita berbuat baik kepada sahabat-sahabat orang tua setelah mereka berdua meninggal dunia.
(Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Birr wash-Shillah no. 2552, dari riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu; ia mengatakan: aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya berbakti yang paling baik adalah usaha seorang anak untuk menyambung silaturahirn keluarga orang-orang yang dicintai oleh ayahnya." Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Adab no. 5143, Tirmidzi dalam al-Birr wash-Shillah no. 1903, Ahmad dalam kitab al-Musnad 11/88,91, 97, dan 111, dan Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad no. 41. Dalam riwayat Muslim dan Ahmad terdapat kisah menarik yang diceritakan oleh Ibnu Umar tentang dirinya dengan seseorang yang ayahnya adalah sahabat baik Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. ) Semua bentuk kebaikan tersebut adalah termasuk dalam kesetiaan.
Dalam kitab Mukhtashar Minhajil-Qashidin dinyatakan bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berbuat baik kepada seorang wanita tua. Mengenai kebaikannya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Sesungguhnya ia (wanita tua itu) sangat dekat dengan kami semasa Khadijah masih hidup. Sesungguhnya kebaikan yang berkesinambungan adalah bagian dari iman."
(Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitab al-Mustadrak 1/16 dari riwayat Abu Mulaikah dari A'isyah radhiyallahu 'anha; ia berkata: "Suatu hari datang seorang nenek tua kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang ketika itu berada di rumahku, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: 'Siapakah engkau?' Ia menjawab: 'Aku adalah Jutsamah al-Muzaniyah.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menimpali: 'Selayaknya engkau adalah Hasanah al-Muzaniyah. Bagaimana keadaan keluargamu (al-Muzaniyah)? Apa kabar mereka? Apa yang kalian alami setelah kepergian kami?' Ia menjawab: 'Semuanya baik, betul-betul baik wahai Rasulullah.' Setelah nenek tua itu keluar, aku (A'isyah) bertanya: 'Wahai Rasulullah, sehangat itukah engkau menyambut kedatangan nenek tua itu?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Sesungguhnya ia selalu mengunjungi kami semasa Khadijah masih hidup. Sesungguhnya kebaikan yang berkesinambungan adalah sebahagian dari iman.'" Hadith ini dinyatakan shahih oleh Hakim dan sanad-nya sesuai dengan kriteria kitab Shahihain (Bukhari-Muslim), adz-Dzahabi pun menyetujuinya. Sementara as-Suyuthi memberi tanda shahih dalam kitab al-Jami' ash-Shaghir no. 2264 (dalam kitab Faidhul-Qadir) dan disetujui oleh al-Munawi, dan al-Albani menilainya hasan dalam kitab Shahihul-Jami' ash-Shaghir no. 2056. Al-Albani juga menyebutnya dalam kitab Silsilatul-Ahadith ash-Shahihah no. 216, dan menisbatkannya juga kepada Ibnu al-A'rabi dalam kitab Mu'jam 75/2, dan al-Qudha'i dari riwayat Ibnu al-A'rabi dalam kitab Musnad asy-Syihab 82/1, dan ia menyatakannya shahih. Silahkan rujuk komentarnya, jika anda mahu. )
Tanda-tanda kesetiaan lainnya adalah konsisten dengan sikap tawadhu '(rendah hati) terhadap sahabat, sekalipun anda seorang yang berpangkat, luas pengaruhnya, dan tinggi reputasinya.
(Mukhtashar Minhajil-Qashidin, hlm. 99)
Sahabat anda akan merasa sedih jika mengetahui bahawa anda memiliki orang yang 'lebih penting' dan lebih dicintai darinya, baik keluarga, sahabat, atau saudaramu. Siapa pun orangnya tidak terlalu penting, yang pasti masalah ini membuat hatinya resah, ia merasa agak diremehkan atau terhina. Boleh saja sahabatmu mengetahui hal ini, sekalipun anda tidak menyebutnya. Namun keadaan tersebut lebih ringan daripada menyebutnya secara terang-terangan, kendati ia tetap akan kecewa, terutama jika anda adalah orang yang paling ia cintai.
Seorang da'i yang baik dan sahabat yang setia harus meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal kedekatannya dengan para sahabat dan upaya pendekatan para sahabat kepadanya, serta bagaimana beliau menumbuhkan perasaan pada masing-masing sahabat bahawa dia adalah orang terdekat dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagai contoh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membonceng Mu'adz di atas tunggangannya,
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Jihad no. 2856 dan di beberapa tempat lainnya, Muslim dalam al-Iman no. 30, dan Abu Dawud dalam al-Jihad no. 2559, dari riwayat Mu'adz radhiyallahu anhu)
mengajak Abu Dzar berjalan bersama pada suatu malam
(Diriwayatkan oleh Bukhari dalam ar-Riqaq no. 6443, Muslim dalam az-Zakah no. 94, dan Ahmad dalam kitab al-Musnad V/152, dari riwayat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu; ia berkata: "Pada suatu malam aku keluar rumah. Tiba-tiba aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan tanpa seorang pun yang menemani, tadinya aku kira beliau sedang tidak suka ditemani oleh siapa pun, maka kulanjutkan perjalananku dalam kegelapan malam. Ketika aku berpaling, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihatku, seraya bertanya: "Siapa itu?" Aku menjawab: "Abu Dzar, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu (baca: wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam)." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyahut: "Wahai Abu Dzar, kemarilah!" Lalu aku berjalan bersama Rasulul-lah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk beberapa saat lamanya..." (al-Hadith). memuji sifat Asyaj Abdul Qais dan sahabat-sahabat lain, sekalipun pada hakikat-nya semua sahabat tahu dari pengakuan Nabi sendiri bahawa orang yang paling dicintai olehnya dari golongan lelaki adalah Abu Bakar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
(Abu Utsman berkata: "Aku diceritakan oleh 'Amr bin al-'Ash radhiyallahu 'anhu bahawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan dalam Perang Dzatus-Salasil, maka aku dekati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya kepadanya: "Siapakah orang yang paling engkau cintai?" Beliau menjawab: "A'isyah." Aku bertanya kembali: "Dari golongan laki-laki?" Beliau menjawab: "Ayahnya." Aku bertanya lagi: "Lalu, siapa?" Beliau menjawab: "Umar bin Khaththab." Dan beliau terus menyebut nama beberapa sahabat." Hadith ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Fadha'ilush-Shahabah no. 3662 dan 4358�di mana redaksi di atas adalah dari riwayatnya, Muslim dalam Fadha'ilush-Shahabah no. 2384, dan Tirmidzi dalam al-Manaqib no. 3885.) tidak pernah menyatakan langsung kepada individu yang bersang-kutan seperti�misalnya, "Fulan lebih aku sukai, atau lebih bererti bagiku darimu", kerana pernyataan seperti ini tidak layak dengan keagungan dan keluhuran akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.